Hal pertama yang harus disiapkan adalah bujet. Konsumen harus mematok bujet dari penghasilan per bulan sebelum berbelanja online.
"Kalau kayak gitu harus ada bujet dari penghasilan kita. Dari uang bulanan, misalnya kita bujet-kan Rp 100.000 untuk belanja. Artinya kalau 6 bulan, dari bulan Juni saya nggak belanja. Misalnya mau masuk Desember, berarti saya punya 6 bulan. Berarti saya belanja punya bujet Rp 600.000, itu tinggal ditentukan mau beli apa, bisa sepatu atau baju," ungkap Aidil kepada detikcom, Kamis (7/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aidil menegaskan bahwa belanja yang bersifat konsumtif maupun belanja kebutuhan sehari-hari tak boleh dibayar menggunakan kartu kredit atau pun fasilitas pinjaman online (pinjol).
"Jadi kartu kredit sama fintech ya nggak boleh sama sekali, itu kan utang. Untuk apa membeli belanja konsumtif pakai utang? Itu kan salah besar," tegas Aidil.
Perlu diketahui, menurut Aidil diskon itu bukan perintah untuk berbelanja.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa dalam berbelanja diskon melalui platform online harus mengatur cara berpikir.
"Kedua yang harus diingat adalah, ketika satu barang harganya Rp 100.000, didiskon jadi Rp 65.000. Kita nggak menghemat Rp 35.000 loh. Jadi ketika ada diskon itu jangan melihat bahwa saya menghemat Rp 35.000, tapi melihat bahwa saya ke luar uang Rp 65.000. Pertanyaannya adalah Rp 65.000 tadi memang saya butuhkan atau hanya karena diskon saya beli?" imbuh dia.
Ketika konsumen berbelanja online bukan karena kebutuhan melainkan karena keinginan, menurut Aidil itu berarti pemborosan.
"Kalau kaos kaki Anda sudah bolong, dan butuh kaos kaki baru maka Rp 65.000 itu jadi murah. Tapi kalau Anda masih punya kaos kaki banyak, ada yang menawarkan Anda kaos kaki diskon 35%, namun Anda beli karena kaos kaki itu lucu, itu bukan penghematan tapi pemborosan. Karena Anda nggak butuh kaos kakinya," pungkasnya.
(hns/hns)