Sakit Menahun di Industri Asuransi Jiwa Nasional

Kaleidoskop 2019

Sakit Menahun di Industri Asuransi Jiwa Nasional

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Selasa, 24 Des 2019 21:40 WIB
Halaman ke 1 dari 2
1.

Sakit Menahun di Industri Asuransi Jiwa Nasional

Sakit Menahun di Industri Asuransi Jiwa Nasional
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Jakarta - Industri keuangan di Indonesia sepanjang 2019 menemui sejumlah masalah. Khususnya industri keuangan non bank. Seperti perusahaan seperti Asuransi Jiwasraya, Bumiputera yang masalahnya muncul ke permukaan.

Jiwasraya

Kejaksaan Agung mengindikasikan adanya praktik korupsi yang menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp 13,7 triliun. Berdasarkan dokumen dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pekan lalu diketahui, apa yang terjadi dengan Jiwasraya akhir-akhir ini merupakan masalah menahun mulai dari imbas krisis moneter di 1998 berlanjut pada lambatnya penyelamatan di 2006 hingga 2010 sampai pada ketidakcermatan dalam penerbitan produk investasi JS Saving Plan di 2013 dan 2014.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE), Piter Abdullah menjelaskan, akar masalah Jiwasraya disebabkan oleh ketidaktepatan pemegang saham dan manajemen lama dalam menentukan momentum sekaligus langkah penyelamatan.

Dia menilai, keputusan pemerintah terdahulu yang terkesan lambat menutup defisit solvabilitas senilai Rp 3,29 triliun pada 2006 menyebabkan kondisi defisit keuangan Jiwasraya terus merosot pada angka Rp 5,7 triliun di akhir 2009.

Batalnya pemberian fasilitas Penanaman Modal Negara (PMN) melalui penerbitan Zero Coupon Bond pada periode 2010-2011 semakin memperburuk tingkat solvabilitas perseroan per 30 November 2011 di angka Rp 6,39 triliun.

"Persoalan Jiwasraya menumpuk karena pembiaran yang terlalu lama. Ekuitas yang sudah negatif sejak tahun 2006. Artinya perhatian dan upaya yang sungguh-sungguh sudah harus dilakukan pada tahun 2006," ujar dia.

Piter melanjutkan, meski kondisi Jiwasraya terus memburuk pihak otoritas dan pemerintah tidak juga memberikan perhatian khusus apalagi untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian. Alhasil ia pun tidak heran kalau persoalan Jiwasraya semakin membesar seperti sekarang.

Sekadar informasi, pada 2010 - 2012 langkah penyelamatan yang diambil manajemen lama ialah melakukan revaluasi aset dan melimpahkan sebagian kewajiban Jiwasraya terhadap pemegang polis ke perusahaan reasuransi. Skema reasuransi dan revaluasi sejatinya dinilai tidak memberikan keuntungan yang berarti lantaran perbaikan angka defisit hanya merupakan hasil yang semu, sehingga solusi tersebut malah menjadi masalah baru.

Piter mengatakan, dengan keputusan merilis produk JS Saving Plan pada 2013 memang Jiwasraya akan mampu meningkatkan aset, sekaligus memiliki dana segar demi menutup defisit keuangan perusahaan untuk sementara waktu. Namun di waktu yang sama, perseroan pun harus menghadapi eskalasi risiko atas liabilitas jangka pendek, ditambah meroketnya beban bunga.

Ini lantaran produk JS Saving Plan merupakan utang perusahaan yang harus dibayar ke nasabah dengan bunga 9% hingga 13%, bertenor 1 tahun. Semakin bermasalah tatkala portofolio investasi yang diperoleh dari JS Saving Plan ditempatkan di saham-saham gorengan, tanpa mengedepankan manajemen risiko.

"Itu namanya gali lobang tutup lobang. Kan persoalannya bukan di pendanaan, tapi di pengelolaan investasi yang kadung salah itu membuat Jiwasraya kondisi kesulitan likuiditas. Jadi salah obat dan bagian yang diobati juga salah," imbuh dia.

Di sisi lain, Piter bilang sengkarut masalah yang ada di Jiwasraya juga disinyalir karena adanya moral hazard yang menggerogoti korporasi oleh manajemen lama. Diantaranya dalam hal penempatan portofolio investasi di pasar modal. Hal demikian juga telah disinggung oleh sejumlah anggota DPR mengenai komplotan mafia pasar modal.

"Masalah ini sudah 13 tahun. Pertanyaannya berarti, dari waktu itu udah ada kesalahan kan. Berarti udah ada yang salah, siapa yang salah, salahnya dimana. Itu udah dihukum atau nggak?" imbuh dia.

Berangkat dari hal tersebut, Piter pun berpesan agar pemerintahan Joko Widodo berani menyelesaikan masalah likuiditas Jiwasraya. Di samping itu, pemerintah juga harus memberi perhatian kepada nasabah agar mereka memberi dukungan kepada pemerintah dan manajemen baru untuk menyehatkan kembali perusahaan.

"Pemerintah sekarang harus berani mengambil tindakan. Masyarakat juga harus memahami. Kehati-hatian mengambil kebijakan menyelesaikan kasus Jiwasraya, saya kira sedikit banyak dipengaruhi oleh kasus Century. Tapi jangan malah tidak berani mengambil keputusan karena kasus Century dulu," jelas dia.
Satu lagi perusahaan asuransi lokal, yakni Bumiputera yang menghadapi masalah besar.

Masalah yang terlanjur dihadapi oleh Bumiputera turut mempengaruhi kinerja industri asuransi jiwa nasional. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) premi industri asuransi jiwa hingga akhir tahun ini hanya bisa tumbuh di kisaran 7-8%

Deputi Komisioner Pengawasan IKNB OJK Ahmad Nasrullah mengungkapkan industri asuransi di Indonesia tahun ini terpengaruh dengan kondisi 2 perusahaan asuransi jiwa yang sedang bermasalah.

"Boleh dikatakan ini musibah terhadap beberapa anggota kita di asuransi jiwa. Ada dua perusahaan asuransi besar yang cukup mempengaruhi pertumbuhan industri," kata Nasrullah.

Dia mengungkapkan, pertumbuhan negatif di asuransi jiwa ini sangat mempengaruhi industri asuransi secara keseluruhan. Kemudian, dua perusahaan ini juga turut mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap produk asuransi.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan potensi kerugian nasabah dari dua perusahaan asuransi jiwa nasional yakni Bumiputera dan Asuransi Jiwasraya (Persero). Nasabah dari dua perusahaan asuransi pelat merah tersebut berpotensi merugi sekitar Rp 40-50 triliun.

BPKN menilai bahwa kedua perusahaan tersebut terlibat dalam kejahatan korporasi yaitu menghancurkan perusahaan dari internalnya sendiri.

"Ini sifatnya massive dan hebatnya Bumiputera dua tahun lalu kita dengar ada collapse dan sebagainya. Tapi itu sebenarnya self destroying dalam konteks kejahatan korporasi. Jadi ada mekanisme self destroying sehingga bisa dipailitkan," imbuh Rizal.

Untuk itu, BPKN mendorong tindakan hukum yang bisa dijatuhkan pada dua perusahaan asuransi tersebut.

Rizal menuturkan, sebanyak 7 juta nasabah Jiwasraya dan 12 juta nasabah Bumiputera bisa jadi sasaran empuk para oknum jika kasus ini tak diselesaikan.

"Jangan sampai oknum-oknum ini berusaha memanfaatkan celah untuk merugikan masyarakat dan konsumen. Kedua asuransi ini jutaan nasabahnya, Jiwasraya 7 juta, dan Bumiputera 12 juta, bayangkan betapa massive-nya," pungkas Rizal.
Hide Ads