RI Perlu Waspada, Jangan Sampai Terseret ke Jurang Resesi!

RI Perlu Waspada, Jangan Sampai Terseret ke Jurang Resesi!

Trio Hamdani - detikFinance
Sabtu, 30 Mei 2020 10:00 WIB
Poster
Ilustrasi/Foto: Edi Wahyono
Jakarta -
Indonesia harus waspada agar tak terseret ke jurang resesi imbas pandemi COVID-19. Sementara sudah ada sejumlah negara yang mengalami hal tersebut karena ganasnya virus Corona menggerogoti sektor perekonomian.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 kemungkinan besar akan negatif. Begitupun pada kuartal III.
"Kalau nanti misalkan triwulan III masih tetap negatif, ini mudah-mudahan nggak negatif sih, tapi kayaknya susah menghindar dari negatif karena situasinya memang sangat sulit, sehingga ya memang akan ada fase resesi itu kalau terjadi dua kali triwulan negatif," kata Eko kepada detikcom, Jumat (29/5/2020).
Bahkan menurut dia kemungkinannya cukup besar bahwa Indonesia bisa terperosok ke dalam jurang resesi ekonomi.
"Iya kemungkinannya cukup besar ya kalau untuk tahun ini. Kalau banyak proyeksi itu biasanya triwulan II memang rata-rata sudah pada bilang akan negatif. Nah nanti tinggal bagaimana pertaruhan di triwulan III," jelas Eko.
Sebenarnya secara definisi, kata dia, ketika pertumbuhan ekonomi suatu negara turun selama dua kuartal berturut-turut bisa dikatakan resesi walaupun tidak sampai negatif.
"Kalau pemerintah memakai definisi yang lebih rigid lagi yaitu dua kali kuartal itu turun secara negatif. Jadi artinya dua pertumbuhan negatif di dua kuartal itu bisa dikatakan bahwa ekonomi resesi, sehingga kalau misalkan triwulan ketiga nggak bisa bangkit otomatis itu akan terjadi resesi," tambahnya.
Apa dampaknya kalau RI masuk ke jurang resesi? Klik halaman selanjutnya.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menjelaskan bahwa ketika resesi terjadi maka akan menyebabkan ledakan gelombang pengangguran. Ujung-ujungnya orang miskin akan bertambah.
"Saya rasa dampak yang paling besar itu tingkat pengangguran dan kemiskinan," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (29/5/2020).
Dia menjelaskan, sekarang saja saat resesi itu belum terjadi, sudah meningkat angka pengangguran karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan imbas merebaknya virus Corona.
"Nah cuma yang nggak bisa dihindari biasanya pengangguran karena belum ada resesi saja ini kan peningkatan pengangguran sudah jutaan ya. Kalau kemudian terjadi resesi ini akan lebih besar lagi gelombang penganggurannya. Kalau nganggur nggak punya income ya pasti miskin. Jadi yang kemudian dampak kemiskinannya juga besar," jelas dia.
Menurutnya dua hal tersebut harus diantisipasi oleh pemerintah. Sayangnya pemerintah dinilai memiliki keterbatasan sumber daya untuk itu.
"Nah biasanya langkahnya adalah bantuan langsung dari pemerintah. Cuma kan saat resesi itu biasanya pemerintah pajaknya kurang kan, berkurang, kenapa? Karena orang lagi susah bagaimana bisa dipajaki. Kalau nggak untung kan nggak wajib bayar pajak, nggak ada tarikan pajak sehingga itu yang berat. Nah ini semua masalahnya jawabannya itu adalah penyelesaian COVID-19 itu," tambahnya.
Lantas era normal baru jadi solusi? Lanjut ke halaman berikutnya.
Untuk saat ini mungkin new normal menjadi pilihan yang sulit. Demi menyelamatkan ekonomi, menurut Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto itu perlu dilakukan.
Namun mengingat kasus positif virus Corona belum melandai, ada ancaman kesehatan jika era normal baru dilaksanakan tanpa perhitungan matang.
"Sebetulnya kalau bicara ekonomi iya (perlu new normal) tapi problem-nya di kita new normal yang terjadi itu tanpa persyaratan yang tepat sebetulnya. Karena kalau di negara lain itu memulai ketika kurvanya agak landai atau minimal datar atau ada pengurangan. Kayak di Amerika itu sudah mulai agak turun juga case-nya. Baru kemudian ada istilahnya new normal itu," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (29/5/2020).
Sementara itu dia melihat baru beberapa daerah yang memang bukan pusat pandemi COVID-19 yang siap menjalankan normal baru.
Lanjut dia, tampaknya pemerintah ingin segera memberlakukan era new normal karena jika tidak dilakukan maka ongkos ekonominya akan besar.
"Sehingga sepertinya berdamai itu mungkin dalam konteks bayangan pemerintah tidak hanya aspek bahwa kita sudah siap sebetulnya. Kalau dibilang siap, saya rasa belum secara kesehatan. Tapi secara ekonomi jadi nggak terhindarkan karena hitung-hitungan banyak pihak (pertumbuhan ekonomi) itu akan negatif, akan resesi," jelasnya.
Namun pemerintah harus bisa mengantisipasi jika misalkan pembatasan sosial sudah dilonggarkan bagaimana masyarakat bisa menaati protokol kesehatan yang ada. Jika tidak, kasus COVID-19 malah akan makin banyak.


Simak Video "Video: Membahas Usul Hapus 1 Libur Nasional untuk Dongkrak Ekonomi Jerman"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads