"Bisnis ini dimulai seusainya gempa di Lombok tahun lalu. Saya mulai bisnis tas rotan ini bulan Juli. Sudah setahun lebih. Saat itu suami saya kan kerja sebagai guide, jadi sejak gempa itu tamu sepi sekali, hampir nggak ada tamu, jadi kami nggak ada penghasilan," tutur Nurma ketika dihubungi detikFinance awal pekan ini.
Padahal, Nurma dan Awan harus menghidupi anak mereka yang baru berusia 1 tahun kala itu (kini usia si kecil 2 tahun). Nurma sendiri tinggal di kampung Janapria yang merupakan tempat para perajin rotan. Oleh karena itu, ia berinisiatif membuat tas rotan lalu memasarkannya ke berbagai tempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nurma mengolah anyaman rotan yang ia beli dari perajin-perajin rotan di kampungnya. Lalu, ia membuatnya menjadi produk tas siap jual. Dalam sehari ia memproduksi 20-30 tas.
"Kalau yang pasang tali, yang bikin anyamannya jadi tas, saya sendiri yang buat. Tapi kalau anyaman rotannya itu perajinnya yang buat, saya tinggal mengambil-mengambil saja. Tapi kalau tas-nya saya yang bikin sendiri, saya beri warna, dan motif-motifnya. Sehari saya itu produksi 20-30 tas," kata dia.
Nurma kemudian memasarkan produknya dengan merek Bale Rattan Bag, melalui sosial media seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Ia pun tak menyangka pembelinya cukup banyak. Tas yang ia buat dengan hasil tangannya dijual dengan harga yang cukup murah, hanya Rp 65.000-220.000 per buah. Bahkan, Nurma berhasil menembus pasar ekspor. Ia mengekspor tas rotannya ke Malaysia dan Filipina.
"Tas saya harganya Rp 65.000-220.000. Nah, setelah saya jual online itu ternyata banyak sekali. Kami juga sudah beberapa kali ekspor, ke Asia saja sih. Saya ekspor ke Malaysia dan Filipina. Mereka (Malaysia dan Filipina), melihat produk saya dari sosial media. Mereka belinya grosir, biasanya mereka belinya 200 pieces ke atas, dan harganya pasti jauh lebih murah kalau belinya banyak," ungkapnya.
![]() |
Kesuksesan Bale Rattan Bag pun telah dilirik oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Nurma mendapatkan undangan langsung dari idEA untuk memasarkan produknya di Pasar idEA 2019, 15 Agustus lalu. Padahal, Nurma belum pernah sama sekali memasarkan produknya di platform e-commerce.
"Iya, saya ke Jakarta kemarin. Saya diajak langsung sama orang idEA-nya dari Instagram. Sejak ikut Pasar idEA banyak channel-channel, dan banyak tawaran juga misalnya dari Blibli.com," terang Nurma.
Omzet yang ia raup per bulannya dengan menjual tas rotan ini juga cukup menggiurkan. Per bulan, Nurma bisa mencetak omzet Rp 9-10 juta. Apabila ada permintaan ekspor yang biasanya pesanannya lebih dari 200 buah tas, omzet Nurma bisa dua kali lipat, yakni sekitar Rp 20 juta.
"Kira-kira omzetnya Rp 9-10 juta per bulan. Omzet ya, yang belum bersihnya. Kalau termasuk ekspor bisa sampai Rp 20 juta. Bisa dua kali lipat omzetnya memang kalau ditambah ekspor, karena pesanannya lebih banyak kan," papar dia.
![]() |
Ia mengatakan, dengan pendapatan tersebut perekonomian keluarga menjadi membaik. Bahkan, sejak memulai usaha ini juga perekonomian perajin rotan lainnya di dekat rumahnya pun ikut membaik.
"Iya semenjak jualan tas rotan lewat online amat sangat membantu perekonomian keluarga. Tapi bukan hanya perekonomian keluarga saya, tapi tetangga-tetangga saya juga, sangat membantu perekonomian mereka," pungkas mantan guru SMP tersebut.
(ara/ara)