Bisa Anda ceritakan bagaimana awal mula jadi pebisnis?
Kalau ditanya awal mula jadi pengusaha itu, mungkin saya itu dari kecil ya, dari kecil sejak SD saya itu memang sudah jualan kue ya. Itu terjadi bukan karena ingin, saya juga dulu nggak ingin jadi pengusaha. Tapi karena itu keterpaksaan. Karena memang keluarga saya itu, mamah saya itu kan laundry di rumah orang, pembantu rumah tangga. Bapak saya itu buruh bangunan, gajinya Rp 7.500/hari.
Jadi kami 8 orang (keluarga) kan, (awalnya) 9, terus satu meninggal, saya anak kedua. Jadi memang sejak SD itu kalau saya mau sekolah, harus cari duit. Jadi saya menjual kue, menjaja kue dari apa yang mamah saya buat, itu adalah bentuk keharusan, yang saya harus lakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi hidup. Kalau nggak, saya nggak bisa bantu mamah saya, adik-adik saya banyak.
Dan dari situ lah kemudian saya bisa beli buku, bisa beli sepatu, bisa beli kelereng. Itu berlanjut terus sampai dengan SMP, saya SMP pun, karena memang kondisi orang tua yang susah, akhirnya saya pernah jadi kondektur angkot. Jadi jualan ikan di pasar, itu pernah. Terus pernah jadi helper excavator dari kontraktor, itu pernah. Tinggal di hutan pada saat musim libur sekolah. Saya SMP kelas 3, saya di SMEA, itu jadi sopir angkot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih di Papua. Jadi bagi saya, sekolah sambil cari duit itu adalah sebuah keharusan, keterpaksaan dalam rangka melanjutkan hidup, melanjutkan sekolah, dan sekaligus membantu orang tua saya.
Saya kuliah pun begitu, jadi saya waktu berangkat kuliah itu orang tua nggak pernah tahu, bahwa saya itu kuliah. Karena saya itu hanya berangkat dan bawa ijazah, baju saya cuma tiga, kemudian modal saya cuma SIM, dan kantong kresek, saya naik Perintis, dari Fakfak ke Jayapura. Itu dua minggu baru tiba ke Jayapura, naik Perintis kan. Campur dengan kambing-kambing di situ, apa namanya, kayu, keladi, sudah campur, Kapal Perintis itu.
Jadi memang, waktu itu berangkat karena melihat teman-teman seangkatan saya pergi kuliah, dan saya tidak tahu harus kemana masa hidup di terminal terus, (maka) mencoba lah berangkat ke Jayapura.
Orang tua tahu Anda pergi ke Jayapura?
Orang tahu kalau saya berangkat ke Jayapura, tapi tidak tahu saya berangkat kuliah, kan 'kamu dapat duit dari mana'. Saya berangkat kuliah itu kan, saya cuma bawa ijazah saya saja, saya berangkat ke Jayapura, sama almarhum ayah saya. Ngapain kamu di Jayapura? 'udalah cari nasib saja'. Berangkat saya.
Lantas apa yang dilakukan waktu di Jayapura?
Waktu saya berangkat kuliah di Jayapura, itu saya tinggal di asrama. Waktu itu tidak ada lagi kampus yang menerima saya, tapi saat saya tinggal di asrama itu, kan asrama mahasiswa, ketua asrama saya dulu itu sekarang jadi Wakil Gubernur Papua Barat.
Jadi pada saat berangkat, saya tinggal di asrama karena nggak punya keluarga, karena di situ semua kuliah, jadi bingung saya. Terus wakil gubernur itu bilang sama saya, 'kau harus kuliah' saya udah mau kuliah, tapi bagaimana nggak punya duit. 'Sudah kuliah saja, ayo kita daftar'. (Lalu) saya daftar di swasta.
Jadi pagi-pagi saya daftar, jam 5 subuh, asrama kami itu dekat dengan pasar, jadi saya tukang dorong gerobak. Jadi, kan dari pasar ke tengah jalan, ke pasar itu kurang lebih 70-100 meter, mau tidak mau orang belanja kan harus tenteng tuh belajaannya sampai di pinggir jalan besar sampai dia naik angkot. Nah saya bagian memfasilitasi itu, saya masih ingat itu Rp 200 perak, saya masih ingat itu.
Jadi dari situ lah saya cari duit untuk kuliah. dari situ saya cari duit untuk kuliah, karena jual koran juga saya.
Anda tidak malu sama teman-teman?
Malu sih ada ya, nggak mungkin nggak ya. Tapi pertanyaan berikut adalah, you malu karena kerja ini atau you mati, atau you maling. Saya mencoba sebagai orang dewasa, sudah tamat SMA, sudah tahu cewe lah, rasa malu ada tapi saya mencoba menyembunyikan itu. Dan tidak untu memperlihatkan. Yang penting niat saya waktu itu adalah, sudah deh saya kuliah. Tapi memang sejak SMP saya sudah nakal, di terminal mana ada orang nggak nakal. Terminal itu kan tempat berkumpulnya anak-anak nakal di situ.
Jadi berkelahi, miras itu saya sudah tahu sejak SMP kelas satu. Nah karena itu mungkin waktu saya kuliah di Jayapura, masuk kuliah daftar, ya sambil kuliah, maksudnya jadi aktivis. Saya semester tiga sudah jadi ketua senat. Jadi saya dipenjara beberapa kali, demo tahun 98, tahun 97 itu kan. Tapi dipenjara bukan karena maling, atau perkosaan orang, bukan. Sebagai ketua senat, memimpin pergerakan memang. Waktu itu saya eks66, waktu di Papua, kami adalah pelakunya.
Semester 5 saya ketua senat, setelah itu semester 6 saya mulai berpikir bahwa saya harus menghentikan kemiskinan ini. Waktu itu tekad saya mengatakan begini, harus setop dengan kemiskinan, kemiskinan ini paling tidak baik.
Waktu itu nasibnya belum sebaik sekarang?
Tinggal di asrama itu, makannya itu makan apa coba? saya nggak pernah dapat kiriman dari orang tua. Jadi belanjanya itu kalau dapat duit beli beras, kita makannya itu setengah nasi, setengah bubur. Kenapa? supaya dapat banyak. Kalau beras sudah habis, itu kami sarapan pagi pakai mangga, mangga buah, mangga muda yang jatuh di samping asrama, itu yang saya makan. Makanya saya pernah sakit busung lapar, ini nggak pernah media tahu.
Saya pernah busung lapar, semester 6 saya busung lapar. Asli busung lapar. Jadi penderitaan yang bener-bener paling menderita itu saya rasain. Nah, pada saat itu ketika saya sakit, saya mengatakan begini, saya harus berhenti dengan kemiskinan, dan caranya satu-satunya adalah dengan jadi pengusaha.
Itu belum lulus kuliah?
Belum. Masih masuk polisi, keluar polisi (penjara-Red). Masih pegang spanduk, keluar spanduk. Masih di atas mobil mimbar, tapi gagah dulu ya kan. Ketua senat gitu kan, jadi ya cewe-cewe suka, mulai suka itu di saat saya jadi ketua senat, kira-kira begitu. Waktu itu di tahun 97-98 itu.
Saya kemudian, mulai dari situ semester 6 mulai berpikir saya harus menjadi seorang pengusaha. Di situlah saya mulai belajar. Saya pernah jadi pegawai asuransi.
Klik next untuk melanjutkan