Jadi Anda jadi pengusaha itu karena nasib atau nasab?
Pikiran by nasab ini ketika saya saya ingin menjadi ketua umum Hipmi. Jadi by nasab itu adalah usaha, yang menjalankan usaha keluarganya sudah generasi kedua, generasi ketiga. Itu by nasab.
Kalau by nasib itu ya seperti saya, generasi pertama yang berjuang. Kalau nasib baik jadi manusia, kalau tidak baik jadi monyet. Yang kita butuhkan ke depan itu adalah by desain. By desain itu adalah gabungan by nasab dan by nasib, dan harus berbasis akademi. Karena kompetisi di dunia enterpreuner sekarang ini tidak bisa masuk ke konsep, tapi harus betul-betul dirancang secara dini, desain secara dini, untuk kemudian kita mampu melakukan sesuatu yang lebih baik, yang pada akhirnya kemudian kita bisa berkompetisi dengan negara lain.
Kompetisi negara sekarang ini bukan lagi antara sesama provinsi, tapi sudah negara ke negara. Itu sebenarnya pikirannya, tapi sebelum ke situ ya setelah saya dari Jayapura dan segala macam. Iya waktu saya mulai bosan itu sempat jatuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenapa Anda tinggalkan gaji besar saat umur masih muda?
Banyak teman-teman yang bilang saya gila, hidup saya sudah aman nyaman, kok bisa mengambil risiko yang pada akhirnya monyet lagi, itu kan teman teman kuliah saya bekerja sebagai hina saya. Dan teman-temanku yang mengatakan saya gila, termasuk istri saya sekarang. Dulu itu hampir putus gara-gara saya jadi gembel lagi. Jadi harusnya gaji saya Rp 35 juta, buat dia ekspektasinya sudah cukup begitu loh, hidup mewah nggak, menderita nggak, cukup.
Tapi saya lebih memilih untuk tidak lanjutkan, di situ hampir saya tidak jadi menikah sama dia. Hampir itu, karena jadi monyet gitu kan. Tapi itu semua pilihan hidup menurut saya dan setiap hidup itu harus berani mengambil keputusan, kita tidak bisa masuk dalam bayangan yang tidak nyaman, saya ambil keputusan tapi itu kembali ya recovery saya itu hampir satu tahun. Recovery terus 1 bisnis goal. nah sudah mulai kerja enak di situ tapi ya dihina orang juga. Kesuksesan itu tidak ada yang dicapai dengan cara yang mudah, terkecuali yang orang sudah punya.
Di umur berapa atau fase yang mana saat Anda merasa sudah sukses?
Kesuksesan itu relatif, dan saya tidak pernah merasa sukses. Biarlah orang yang menilai, tapi saya selalu punya prinsip hidup itu, belajar, belajar, dan belajar, serta kerja dan harus sukses. Jadi kerja keras, kerja cerdas, dan kerja Ikhlas, itu orientasi sama dengan ibadah.
Kalau kita kalau kita bekerja ikhlas, itu kalau kita tidak dapat profit di dunia, kalau ikhlas dan bermanfaat untuk orang, InsyaAllah profit kita akan diterima di akhirat sebagai bentuk amal ibadah. Dan menurut saya juga ukuran kesuksesan ini sebenarnya relatif. Ada orang yang mengatakan bahwa duit banyak itu sukses, kalau saya mengatakan tidak.
Bagi saya duit itu bukan tujuan hidup, itu bagi saya ya. Orang semua butuh duit, tapi duit bukan tujuan hidup, duit adalah fasilitas hidup. saya sebagai orang muslim tujuan hidup saya adalah harus bisa berguna bagi orang lain rakyat bangsa negara dan saya bisa menjalankan apa yang menjadi perintah Allah yang pada akhirnya kemudian suatu saat saya akan pertanggungjawabkan.
Jadi kalau ditanya sukses, ya bingung, apa suksesnya itu, karena saya nggak punya duit dengan punya duit bedanya apa ya. Bedanya dulu kalau saya makan susah, kalau sekarang nggak, dulu jalan kaki tahun 99, kan saya jalan kaki semua ini di Jalan Diponegoro sampai ke Gambir itu jalan kaki, dulu gembel pokoknya. Saya kan di Jakarta dulu tidur di mushola gembel kita dulu kan. Saya Pakai baju saja dulu Rp 50 ribu, sekarang mungkin karena tuntutan jadi agak sedikit baik.
Tapi nggak ada juga perasaan kalau punya ini harus merasa lebih, bagi saya semua orang itu sama saja, yang membedakan itu di mata Allah.
Sampai sekarang Anda sudah banyak perusahaan, titik baliknya itu sebenarnya di mana?
Pada saat keluar kerjaan. Kemudian saya buat perusahaan, perusahaan itu pernah menurun, kemudian saya bangkit. Bangkit itu Alhamdulillah mulai dari situ. Itu tahun 2004 belum terlalu lama.
Sekarang sudah ada berapa perusahaan?
Ya rahasia perusahaan lah. Ada beberapa lah, besar juga nggak, kecil juga nggak, jadi sedang-sedang saja. Saya suka sedang-sedang saja.
Anda dirikan sendiri itu ya?
Hampir semua.
Semua basis di Jakarta atau ada yang di Papua?
Di beberapa tempat, ada di Papua, ada di Sulawesi, ada di Maluku, ada di sini (Jakarta), ada beberapa tempat.
Dari semua yang Anda capai, kira-kira pelajaran apa yang didapat?
Begini, pelajaran yang paling Hikmah itu adalah jangan pernah menganggap remeh orang lain yang posisinya di bawah. Karena nasib orang itu nggak ada yang tahu, roda itu berputar. Artinya apa? kalau kita ketemu dengan pejabat, ketemu dengan orang yang punya uang, jangan juga kita menganggap melebihi dari Tuhan. Mereka itu biasa saja.
Tapi jangan juga hari ini kalau kita lihat orang belum berhasil, orang kecil, jangan juga hina mereka. Jadi kesahajaan menurut saya ya, perlakukanlah manusia yang lain itu sama dengan anda memperlakukan dirimu, karena kita tidak bisa menebak hari ini orang yang belum punya apa-apa itu selamanya.
Saya ini menurut saya manusia yang bersyukur kepada Allah. Saya tuh dulu dihina, jadi saya dulu itu juga nggak pernah terpikir suatu saat ini jadi Ketua Umum Hipmi. Nggak pernah terpikir suatu saat bisa jalan sama menteri, bisa jalan sama presiden, nggak pernah terbayang. Karena itu saya syukuri saja. Dan ukuran kecukupan dan kesuksesan itu kan tergantung dari orang itu mempunyai standar masing-masing. Dan dari kacamata mana dia melihat.
Dan saya melihat orang, bukan dari apa yang dia miliki sekarang, dalam konteks materi duniawi. Tapi saya mengagumi orang, dari apa yang dipikirkan, dan apa yang dia lakukan, serta apa karyanya untuk bangsa dan negara. Itu jauh saya lebih menghargai orang itu ketimbang dia harus memamerkan apa yang dia punya dalam konteks harta. Karena kita ini semua itu titipan Allah. Jangankan harta kita, diri kita saja milik dia.
Jadi ya kalau ketemu sama orang juga jangan merasa rendah kalau ketemu sama orang hebat. Tapi kalau ketemu dengan orang yang rendah jangan juga merasa diri tinggi. Pelajaran itu yang menurut saya paling terima.
Siapa orang paling berjasa bagi Anda?
Mamah dan bapak saya. Kerja keras saya itu, saya terinspirasi dari ayah saya. Ayah saya itu seorang buruh bangunan, dia mampu menyekolahkan anaknya 8 orang, dan semua sarjana. Gaji Rp 7.500 per hari, tapi dia bisa memberikan makan untuk semua anaknya. Dia kerja, sakit pun dia kerja.
Dia kerja tidak pernah mengeluh, begitupun mamah saya. Jadi rasa tanggung jawab untuk kerja keras menghidupi anak-anaknya, itu tinggi sekali. Dan cara itu yang kemudian saya adopsi dalam bekerja. Saya akan selalu kerja keras, karena kalau saya sendiri yang sudah sekolah, kemudian punya fighting spirit, kurang dari apa yang bapak saya lakukan, itu artinya ayah saya tidak berhasil dalam membina. Tapi kita bisa melakukan hal-hal yang minimal sama dengan ayah saya dalam konteks berjuang, maka ayah saya tidak gagal dalam melahirkan dan membina kami.
Bagi saya yang berjasa paling besar, ya mamah bapak saya. Yang selalu tidak henti-hentinya mengajari kami pada hal-hal yang ringan tapi prinsip. Contoh, sedikit punya kita, jauh lebih baik itu punya kita daripada mengambil hak orang. Satu lagi prinsip, bayarlah upah orang, sebelum keringatnya kering. Itu bapak saya, karena bapak saya pernah merasakan gajinya terlambat tiga hari, dan kami hampir tidak makan, kan begitu. Jadi kenapa bapak saya ngomong, karena dia pernah merasakan itu.
Saat sukses, orang tua Anda tahu?
Bapak saya sudah meninggal, jadi waktu bapak saya meninggal itu 2003. Bapak belum sempat melihat saya bisa melakukan hal sifatnya mencukupi standar. Saya masih karyawan waktu itu. Mama saya Alhamdulillah masih ada. (fdl/ang)