Lika-liku Nasib Pos Indonesia Berkelit dari Kematian

Lika-liku Nasib Pos Indonesia Berkelit dari Kematian

Hendra Kusuma - detikFinance
Kamis, 21 Feb 2019 14:04 WIB
Lika-liku Nasib Pos Indonesia Berkelit dari Kematian
Foto: Grandyos Zafna/detik.com
Publik masih bertanya-tanya, kenapa direksi sampai menunda pembayaran gaji para pegawai? Pelajaran apa yang mau dikasih? apakah karena demo kemarin?
Gini, sebetulnya itu sebuah reminder buat kita semua, bahwa eh jangan lah ketenangan di dalam proses tranformasi diganggu dengan yang nggak-nggak, itu kan persoalan ketidaksantunan di dalam berkomunikasi, di mana pun wujudnya itu premanisme, memaksakan kehendak, menyuarakan ke publik, supaya didengar orang lain padahal itu matternya internal.

Ketika matternya internal, protokol internal, bahkan yang namanya nggak ketemu ada mediasi dengan disnaker apakah itu sudah di exhaust (ceklagi), belum, belum di exhaust habis, bahkan kalau perdebatan kita tidak satu pemahaman dalam hubungan industri ada yang namanya PHE, merekalah yang menengahi, mereka yang memberika kata akhir, eh manajemen elu salah yok lakukan ini, oke. Kita siap dan harus nurut.

Tepat ketika muncul membuat noise akhirnya itu bagaimana transformasi ini kan mengundang orang berinvestasi di kita, baik apakah sifatnya utang bank juga tetap saja investasinya bank ke kita, security meraka kan apakah Pos bisa benar transformasi sesuai yang dijanjikan, ini kan termasuk yang Guys quite please, ketika itu tidak dilakukan kita menunjukan dengan hanya menunda sehari saja itu yang kelabakan banyak, sekian orang itu, bayangkan kalau kita benar-benar tidak bisa bayar gaji, itu kan akan jadi beban kita semua. Jadi reminder lha, yuk semuanya support, kalau memang direksi tidak diinginkan ada mekanismenya, pemegang saham juga pasti akan mengatakan sorry saya give up kalian tidak perform, karian tidak memberikan, kan ada mekanisme itu, tidak diselesaikan dengan mekanisme pengadilan jalanan seperti itu. Nah ini yang lebih kepada reminder, yuk kalau kita bisa selesaikan dengan tatakrama yang lebih baik kenapa harus turun ke jalan seperti itu.

Artinya keuangan Pos sejauh ini baik-baik saja?
Gini, bukannya kita tidak punya masalah, kita punya masalah dengan bisnis yang decline terus, kita mencoba mengejar dengan cost reduction, bahwa bisnis kita iya, tetapi kalau faktor tidak tumbuh signifikan itu menjadi beban buat kita. Harusnya bisnis ini bisa tumbuh signifikan, costnya kita manage sehingga ada profit yang didapat di mana profit itu yang kita gunakan untuk membiayai proses transformasi ini. Jadi bukan kita tidak punya masalah, iya kita puya masalah dengan case yang semakin berat.

Kenapa case itu menjadi berat? di tahun 2014-2015 kita masih menyalurkann dana-dana PKH, bansos yang jumlahnya gede, sehingga setahun ada uang Rp 20-30 triliun untuk disalurkan, yang memang menyalurkan ke pelosok, karena uang ini bercampur dengan uang opersional kita maka tidak merasa case itu masalah buat kita, ada uang yang selalu tertutup. Nah pada saat kita tidak lagi menyalurkan cash, karena pemerintah punya kepentingan mengejar SDGs inklusif keuangan 70% maka mendorong orang yang menerima dana bantuan ini melalui banking sistem konsekuenai logisnya harus ke situ.

Oleh karena itu Pos ditinggalkan, terkalahkan, dengan konteks itu uang cash yang relatif bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, walaupun kita sadar bahwa itu, kan dalam waktu relatif 2016-2017 kita itu membalikan uang pemerintah tidak kurang dari Rp 700 miliar, artinya apa yang belum tersalurkan yasudah dikembalikan, itu yang membuat kita tidak mudah. Makanya dalam posisi yang tidak mudah, mbok semuanya sabar, semuanya ini yuk bagaimana saling tolong menolong, jangan dalam keadaan sulit ini jangan diganguin, direcokin dengan segalam macam, jadi saya membuat ini menjadi momen. Kalau hardisk anda sudah terlalu ruwet yasudah di-defrag dulu lha.

Kan Pak Gilarsi punya latar belakang keuangan, tidak melakukan negosiasi ke pemerintah? seperti hampir semuaya diambil bank sehingga Pos tersisihkan?
Gini, Pos ini kan dalam konteks penyaluran dana pada akhirnya bank menyadari tidak dalam kapsitas kan akhirnya ajak kita, kalian kan tidak bisa handle sendiri lho, paling nggak yuk kolaborasi. Ini akhir tahun lalu kita lakukan, tapi bank penasaran mau coba sendiri dulu, ketika mecoba sendiri gagal akhirnya nyolek ke kita juga. Kemudian mulai ada proses, seperti BNI, ya tidak semuanya, yang di kota di handle sendiri tetapi yang di jauh mereka menggunakan pos.

Apalah kita tidak berusaha? Kita melakukan pekerjaan PSO, di mana kita mengoperasikan 2407 kantor Pos PSO, karena costnya jauh lebih besar dari pendapatan yang kita dapat, nah itu sudah beban buat kita. Kedua, kita melakukan di rumah sakit ada kelas 3 yang disubsidi pemerintah atau di kereta api yang kelas ekonomi mendapat subsidi dari pemerintah, di Pos juga ada, paket Pos PSO biaya mengoperasinalkan juga jauh lebih mahal dari tarif yang dibebankan pemerintah kepada mereka, jadi tarif itu yang set pemerintah bukan kita dalam konteks ini kita mengalami defisit yang sangat serius, ini dilemanya gini etika memperbaiki performa kita maka orang semakin suka pakai kita, kalau semakin suka semakin besar (defsitinya) ini dilemanya yang tidak mudah dilakukan.

Yang sedang dilakukan adalah menata ulang, meminta pemerintah dalam hal ini Kominfo yuk lets play fair, dalam artian kalau beban Pos lebih besar dalam artian pemerintah memang berkewajiban dan kita takeover ya ysabarlah sesuai cost yang kita keluarkan. Minimal itu yang kita perjuangkan, kalau dikompensasi sesuai hak nya Pos, kita tidak rugi, kita masih positif bahkan ekstremnya gini kalau 2407 saya pisahkan dari yang komersial maka yang sisanya ini cukup membuat kita profitable.

Saya tinggal di Depok, tetangga saya selain ada JNE, Tiki, ada juga Pos itu seperti apa?
Kalau Pos itu mengutamakan kesabaran, kita mendekati poin-poin yang dibutuhkan masyarkat, bisnis mendekati di mana uang ekonomi konsentrasi tinggi, maka dia membuat posisinya rapat, dalam upaya belakangan mencoba melirik, tetapi kita tidak dalam kapasitas berinvestasi sendiri, ya kemitraan saja, membuka kesempatan dan kita membagi revenue di situ.

Pertumbuhanya bisnis seperti itu bagaiamana?
Cukup baik, bahkan kita rada tertolong dengan yang seperti itu, walaupun tadi sampaikan beban kita PSO semakin berat, kalau tidak disupport seperti ini, sudah lebih parah lagi.

Tahun pertama memimpin telah memaparkan sekian banyak yang akan dilakukan, mana yang berjalan mana tertatih-tatih, mana yang bahkan stagnan?
Dalam dua tahun pertama saya masih sangat fokus untuk bagaimana mensranformasi induk, karena hope-nya induk transform sudahlah kita tidak melihat yang lain, tapi ternyata menstranformasi induk juga keruwetannya sangat tinggi, bukan soal orang, budaya, tapi juga kapasitas kita berinvestasi, mengubah infrastruktur surat ke barang saja itu butuh duit, duitnya dari mana kita bisa peroleh, saya berpikir pemerintah cukup terbuka atas perubahan di PSO, tapi rupanya itu tidak mudah. Dari sisi Kementerian Kominfo punya protokol, kalau UU ngomngnya begini ya harus begini, itu harus diubah sehingga mengalir tidak semua bisa dilakukan. Dua tahun pertama all out sampai akhirnya saya penasaran, rasanya saya nggak goblok goblok memahami situasi, tapi kok bisa buntum sudahlah yuk kita cari konsultan yang bagus untuk membantu kita, untuk mematakan, dan mengkonfimasi yang harus kita lakukan adalah ya begini.

Nah akhirnya dalam penggalan tahun terakhir, setahun setengah saya banyak memberikan fokus untuk transfromasi anak usaha, kebetulan anak juga tidak sehat semua, ada Pos Logistik, BWN ini internet service provider pertama di Indonesia, ketiga Pos Property.

Pos Property somehow ketika saya masuk ada masalah hukum, masalah macam-macam dan sudahlah biar selesai dulu. Tetapi dua ini, kita berhasil sehatkan dengan cakep lha, artinya dari posisi yang negatif, akhirnya menjadi perusahaan yang sangat sehat bahkan sudah mebukukan profit dua-duanya. BWN itu sejak didirikan sampai 2017 tidak pernah profit, 2018 paing tidak membukukan profit Rp 13 miliar, dengan posisi buku yang sehat, ini kita lagi transfor menjadi semacam fintech-nya Pos.

Nah Pos Logistik sama dari perusahaan yang berdarah-darah, banyak kasus, kasus utang tak tertagih sehingga menjadi perusahaan sangat sehat, dan tidak menjadikan Pos sebagai basic revenue, karena Pos Logistik tadinya dibangun untuk mengurus losgistik side dari Pos, Pos Log betul-betul di bawah 30% itu ngurusin Pos, selebihnya komersial, dan kita profitable. Kita melihat cahaya dengan mentransform anak, dengan model bisnis yang dilakukan memisahkan komersil dengan yang PSO, sehingga anaknya tumbuh besar, startup kan berbicaranya gross transaction value (GTV), ketika kita bisa melakukan agregat pertumbuha yang besar, maka dengan mudah mengudah private investor sejauh 51% masih milik Pos kan kendali ada di BUMN.

Jadi upayanya sekarang bagaimana membesarkan anak untuk supaya capable paling tidak mensubsidi induk. Kelihatannya ini sangat promising, dalam satu setengah tahun kecepatannya tinggi, kontrak yang dibangun jauh lebih market like, kebersesuaian, ini yang membuat saya yakin i think we can do this.

Saya lihat di ruangan bapak ada pesawat dengan tulisan Pos Indonesia, saya bayangin seperti DHL, ini kapan kira-kira bisa terwujud impian ini?
Kalau kita melihat betapa sufferingnya Indonesia terhadap biaya logistik yang mahal, kita masih di atas 20-23% dari GDP kita itu terbakar di logistik, logistik itu tidak memberikan nilai tambah apa-apa, memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Bagaimana kita bisa menekan biaya itu serendah-rendahnya, kalai 1% GDP bisa kita kurangi berapa ekuivalen Phd yang bisa kita ciptakan, berapa library yang kita bangun untuk anak-anak di tempat di 3T, itu kan valuable sekali, apa yang menginspirasi beberapa bahwa do something good for the country adalah bagaimana Pos bisa menjadi fasilitator menekan biaya logistik itu, bukan hanya persaoalan infrastruktur, tapi lebih jauh ada brain where logistik.

Yang agak terlupakan tidak terbangun dengan baik, di orang. Contohya berapa banyak petani yang menanam akhirnya tidak dibutuhkan oleh pasar. Itu persoalan bukan logistik yang tidak mampu menampung tapi brain where yang tidak berjalan, kenapa petani disuruh menanam yang tidak dibutuhkan pasar, artinya kita selalu terbiasa suplai, wrong, kita harus membalik sekarang demand, kita membuat sesuatu yang memang dibutuhkan, jangan sampai petani kita kerja keras tapi ternyata dibuang-buang, cabai, tomat dibuang, kan menjadi konyol.

Makanya saya masih punya mimpi bahwa Pos akan menjadi brainwhere logistik nasional, Makanya kita memperkuat Pos Log anak, kebetulan memiliki politeknik Pos, Poltek Pos selama ini begitu saja, sekarang kita memberikan fokus tinggi, bahkan kita bekerja sama dengan Poltek luar negeri, dengan Singapura, NUS, ada Melbourne Poltek, yok apa yang bisa kita lakukan membangun kompetensi logistik, itu dari sekolahnya, dari awal kita jejali, bahkan Jerman tertarik membangun capacity building-nya, harus bisa menjadi brainwhere logistik. Yang mahal itu kan kadang kita hanya one way saja, truk dari Jawa ke Jakarta penuh muatan, baliknya kosong. Kapal dari Priok ke Timur baliknya kosong, ini juga persoalan yang fundamental, apa yang memuat NTT berhenti memproduksi jagung. Bahkan kalau ada teknologi yang membantu mereka bisa menjadi kebutuhan pakan ternak di sini, kebutuhan yang lain bisa untuk NTT butuhkan, jadi kapal itu penuh, demikian hal lain.

Salah satu kritik kita, tidak dilibatkannya antropolog dalam pembangunan nasional, coba apa yang yang menjadi alasan orang Papua di sana diajarkan makan nasi, kenapa tidak dipertahankan makan sagu, ubi, dibantu dengan teknologi bagaimana lebih lezat, teste full. Lebih tahan, jangan terus diganti dengan beras, karena harga beras begitu sampai Puncak Wijaya sangat mahal jadinya, karena mereka tidak memproduksi di sana.

Jadi pesawat itu adalah spirit kita, bahwa one day kita menjadi jembatan logistik Indonesia, yang bisa menekan biaya logistik dari yang 20%-23% menjadi mudah-mudahan. Kalau Jepang kan sudah di 11-an% sama-sama negara kepulauan, ya katakan lah bisa di bawah 20% katakan 18%, 5% dari total GDP kita yang Rp 14 ribu triliunan itu erapa coba, berapa banyak Phd yang kita lahirkan dari Rp 700 triliun per tahun, itu kesempatan kita.

Salah satu yang sempat benar nih ketika Pak Gilarsi mengambil porsi kue logistik, kapan bisa diwujudkan?
Kan kita sudah update, Pos Log yang tadinya logistik menjadi trading, dengan menjadi trading logistik maka kita punya kesempatan untuk mengembangkan skenario itu, bukan hanya dari logistiknya saja tapi juga dari penyediaan barangnya juga. Coba bayangkan berapa besar impor Indonesia, dan bukan hanya persoalan siapa yang mengangkiut, jangan-jangan middle man di dalam proses impor itu sangat tinggi, kita masih impor produk untuk bikin pupuk seperti pospat masih.

Pindad juga peluru masih harus impor, karena kapsitas kita tidak cukup, bayangkan kalau hal itu bisa difasilitasi oleh Pos Log, industri 10% dari DHL itu posible tercapai, melalui kendaraan ini. Satu lagi di dalam trending logistik ini bisa mengembang, jika anda konstumer saya tidak hanya bernegoisasi soal harga tapi juga tentang term of payment, bukannya saya bisa dapatkan bisnis itu, dengan itu semua sangat posibble dikejar, know how nya ada, kita harus investasi yang skill set, teknologi, human capital yang jauh lebih progresif, tu yang harus dilakukan, logistik Indonesia 20% masa Rp 8 triliun tidak dapat.

Kapan target mengudaranya?
Mungkin sebelum 2025, paling cepat yah

Jumlah 28.000 karyawan itu tegolong efisien atau kebanyakan? apalagi Pak Gilarsi pernah rekrut 5000-an pegawai?

Itu sebetulnya kasusnya kita kesalahan, kita mempekerjakan orang yang sudah melewati izinya sebagai tenaga kontrak, jadi itu pemutihan sebetulnya, karena kalau tidak kita kesalahan, karena orang sudah bekerja 11 tahun di kontrak terus. Makaya ini yang menjadi rignt mereka kita berikan, apa yang kita perjuangkan yuk kita perjuangkan, makanya ada pengangkatan, jadi bukan kurang atau lebih, kita sekarang ini bahasanya sederhana, kita kurang good people kelebihan bad people, tapi saya telaku sarkas kalau bad people tetapi unfeed dalam kebutuhan skill set yang dibutuhak industrinya.

Kalau di swasta ada penyesuaian kembali, apakah lay off atau seperti apa?
Kalau di private sektor saya lakukan, anda tahu lah, saya banyak lakukan itu, kalau di BUMN sosial cost nya terlalu besar.

(hek/zlf)

Hide Ads