Sebenarnya IDF (Indonesia Development Forum) ini memang ditargetkan untuk membahas topik yang mungkin tidak akan dibahas oleh sektor finansial atau sektor yang lebih terkait commercial and business karena kita hanya fokus ke isu pembangunan. Khususnya kita ingin sasar isu pembangunan yang inklusif.
Sehingga saat IDF pertama, saat itu isu pemerataan kelompok pendapatan jadi hal yang hangat sehingga IDF pertama temanya pemerataan antar kelompok pendapatan. Setelah itu kita melihat di Indonesia masih berat isu pemerataan pendapatan antar daerah/wilayah. Jawa dan luar Jawa, DKI dan luar DKI dan seterusnya.
Setelah isu pemerataan telah kita cover, selanjutnya kita angkat isu soal penyediaan lapangan kerja dalam upaya mengurangi pengangguran dengan penciptaan lapangan kerja. Isu ini kita angkat karena kita melihat, meski pengangguran kita turun tapi tingkat penurunannya belum cukup tajam. Jadi masih ada 7 juta angkatan kerja yang masih menganggur saat ini.
Kemudian yang bekerja pun mayoritas masih sektor informal, belum sektor formal. Padahal harusnya kalau negara yang sudah menuju maju, sektor formalnya yang lebih dominan.
Lalu, dari segi yang bekerja, lulusannya masih SMA ke bawah. Artinya masih didominasi oleh unskill labor. Padahal kita mau menghadapi industri 4.0 yang pasti menuntut kualitas dan spesialisasi. Sehingga pendidikan yang lebih tinggi itu menjadi kebutuhan.
Kemudian juga kita melihat bahwa yang jadi masalah di lapangan pekerjaan ini kadang-kadang bukan ada atau tidaknya lapangan kerja, tapi adanya ketidakcocokan atau miss match antara apa yang diperlukan pasar atau pemberi kerja dengan apa yang bisa disediakan oleh lembaga pendidikan.
Kadang-kadang dua ini tidak berkomunikasi sehingga apa yang dihasilkan akhirnya tidak bisa masuk. Contohnya kalau kita lihat pengangguran berdasarkan lulusan sekolah, salah satu yang paling tinggi lulusannya adalah SMK, bahkan lebih tinggi dari SMA. Artinya ada yang salah nih. Kenapa SMK yang harusnya lebih gampang cari kerja tapi malah lebih banyak penganggurannya dari pada SMA. Jawabannya adalah pasti dari masalah kurikulumnya.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah dan pemberi kerja untuk mengurangi hambatan pekerjaan di era industri 4.0?
Jadi di IDF meski judul besarnya penciptaan lapangan kerja, tapi kita masuk detail terutama mengenai pendidikan mulai dari tingkat umum, vokasi, menengah, tinggi sampai ke balai latihan kerja bagaimana meng-upgrade skill dari pekerja.
Topik ini juga menurut saya sangat tepat dibahas karena mulai dari 2019 ini pemerintah memberikan dorongan untuk kita lebih perhatikan sumber daya manusia (SDM). Dan SDM; meskipun kita sudah bahas kesehatan, pendidikan, kita memang belum spesifik bagaimana mendorong agar angkatan tenaga kerja kita itu bisa masuk ke pasar tenaga kerja.
Kurikulum kan sudah banyak berganti?
Mungkin yang dimaksud kurikulum yang sering berganti adalah pendidikan umum. Tapi pendidikan umum juga harus dapat perhatian khusus; tidak hanya vokasi, karena meskipun kurikulumnya berubah, tetapi memang harus ada perubahan yang lebih masiv. Dalam artian, sekarang kita harus benar-benar melihat apa yang jadi kebutuhan pasar.
Contohnya, saya tadi baru saja makan siang dengan salah satu dirut bank. Bank itu kan merekrut tenaga kerja dalam jumlah besar setiap tahun. Tapi belakangan ini jumlah rekrutmennya mulai menurun.
Karena, misalkan sekarang mereka tidak lagi butuh terlalu banyak teller. Nggak butuh lagi terlalu banyak tenaga operasional. Sekarang karena mereka lebih banyak menuju digital banking, belum lagi cyber security, mereka sekarang malah butuhnya programmer misalkan. Yang menarik, untuk pekerjaan umum di bank seperti teller tadi lowongannya tidak terlalu banyak tapi yang melamar banyak sekali.
Kenapa?
Karena banyak bidang studi yang akhirnya tidak jelas pekerjaannya mau ke mana. Sehingga akhirnya mereka ramai-ramai mau ke sini. Di sisi lain, lowongan untuk programmer yang cukup besar; karena kita memang masih banyak kurang, tidak diimbangi dengan applicant nya. Jadi pelamarnya itu bisa lebih sedikit dari lowongannya. Jadi kan harusnya langsung diterima. Tapi akhirnya kita harus bergantung kepada jasa luar, dari India atau negara lain untuk mendapatkan programmer yang dibutuhkan oleh start-up kita di bidang teknologi.
Jadi yang harus diperbaiki adalah miss match nya. Supaya miss match ini tidak terjadi, kurikulum harus di-upgrade. Selain kurikulum pendidikan umum, yang harus kita arahkan kepada science, technology, engineering, and math. Ini harus diperkuat. Karena itu kebutuhan pasar sekarang. Dengan digitalisasi, industri 4.0, penguasaan akan bidang ini menjadi harus. Sehingga kita butuh orang-orang yang tidak hanya lulus dari bidang ini tapi juga punya kemampuan.
Di bidang vokasi sama juga ceritanya. Di bidang vokasi, sering terjadi ketidakcocokan bidang. Artinya banyak pendidikan vokasi yang menjalankan kegiatan rutin seperti jurusan pada umumnya yang sudah dilakukan bertahun-tahun yang lalu. Sudah lama, mereka jurusannya itu-itu saja. Padahal untuk menyambut industri 4.0, mungkin SMK sudah harus mengajarkan graphic design. Tapi dia masih berkutat di bangunan misalnya. Padahal kita butuhnya di graphic design, nah ini yang belum terakomodir.
Dari segi bidang kadang-kadang belum terakomodir, lalu dari konten kurikulumnya. Kalau kurikulumnya masih berat pada pengajaran di kelas; tatap muka, kita nggak bisa bayangkan caranya orang ini survive di pasar kerja. Apalagi peralatan yang ada di SMK juga out of date. Sehingga apa yang diajarkan; meski dia menguasai, alat itu nggak dipakai lagi in real world. Sehingga saat dia masuk ke pasar kerja, dia juga kesulitan untuk bisa adaptasi cepat.
Jadi, kalau saya di kurikulumnya nanti, kita bicara komposisinya, mungkin kita harus perbanyak internship atau magang. Bahkan kalau di Jerman, 1 semester di sekolah, 1 semester di pabrik. Dan yang magang, bukan hanya muridnya, gurunya juga. Dan kalau pun magang, dia nggak bisa cuma magang tapi nggak ada supervisornya. Karena dia cenderung mengerjakan cuma apa yang disuruh orang. Padahal dia magang kan ada tujuannya, untuk memperkuat keterampilan atau spesialisasi.
Jadi kalau dia magang, perusahaan tempat magang harus punya semacam pembimbing atau supervisor untuk cek apakah anak ini sudah ikuti program pendidikan dengan benar. Sekarang ini kurikulumnya belum sampai ke sana. Magang ada, tapi tidak ideal. Dan kita juga harus mendorong partisipasi swasta. Pabrik merekrut magang di Indonesia itu masih dianggap cost atau biaya. Padahal harusnya itu investasi. Artinya dia bisa persiapkan calon tenaga kerja buat dia dari sejak belum di-hire. Nanti setelah sudah terlatih, tinggal rekrutnya gampang. Retraining tidak perlu lagi.
Jadi pengertian kurikulum di sini kita tidak berdebat isi mata kuliahnya, tapi lebih ke proporsi; berapa dia seharusnya lebih terekspos ke lapangan dibandingkan di kelas.