Pesannya adalah mereka harus terus berupaya menjadi yang terbaik di bidangnya, karena saya percaya siapa pun yang berusaha terbaik di bidangnya tidak akan sulit mencari pekerjaan.
Kedua, mereka harus mulai selektif dalam memilih bidang-bidang yang akan mereka tekuni. Artinya mereka tahu bahwa bidang tersebut adalah yang menjadi kebutuhan di market. Dan tadi sudah dikatakan, bidang-bidang yang terkait STEM tadi menjadi prioritas. Jadi jangan menjadi yang terlalu generalis, mulai menjadi yang spesialis.
Ketiga, jangan underestimate yang vokasi. Karena sudah banyak cerita bahwa mereka yang berpendidikan vokasi punya potensi jadi wirausaha dan bisa jadi orang kaya. Misalkan jadi chef nggak perlu sarjana. Itu yang kita butuhkan dari anak muda Indonesia.
Terakhir, jangan takut untuk jadi wirausaha. Indonesia ini kalau ditanya apa yang defisit di Indonesia, yaitu wirausaha. Kalau pekerja profesional, meski belum ideal, tapi relatif banyak. Tapi yang wirausaha masih kurang.
Untuk generasi yang sekarang yang angkatan kerja lama tapi masih banyak yang menganggur?
Kuncinya yaitu tadi di rescalling dan upscalling tadi. Artinya dia tidak boleh segan-segen untuk pelajari sesuatu yang baru. Intinya harus tidak boleh segan untuk meng-upgrade dirinya. Dan satu lagi, kalau baru lulus harus dari bekerja apa saja. Artinya jangan terlalu memilih dalam bekerja selama kesempatan kerja ada. Tapi ketika dia sudah bekerja, dia harus punya suatu kelebihan dibandingkan pekerja yang lain. Ya hukum persaingan biasa, tapi yang paling penting orang itu dapat kerja dulu.
Dari sisi demandnya juga harus dilihat. Kita juga harus bicara investasi. Karena siapa yang bisa ciptakan lapangan kerja kalau bukan dari investasi? Jadi kita juga akan bicara di IDF ini bagaimana investasi ini bisa menciptakan lapangan kerja. Kadang-kadang penciptaan investasi untuk lapangan kerja tidak langsung, terutama untuk pabrik-pabrik yang pakai automasi. Saya masih melihat, efisiensi yang ditimbulkan dari industri 4.0 tadi akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi dan itu akan menciptakan lapangan kerja. Jadi sebenarnya kalau dari suatu studi mengenai dampak industri 4.0 terhadap lapangan kerja, bahwa nantinya akan orang akan banyak kehilangan lapangan pekerjaan, ternyata kesimpulannya surplus. Justru akibatnya menciptakan potensi lapangan pekerjaan di berbagai bidang yang jumlahnya lebih besar dari jumlah pekerjaan yang hilang.
Kurikulum dan arahnya. Kalau kita nggak berani mengatakan bahwa STEM jadi prioritas, menurut saya kalau ada universitas baru muncul; meski kita juga sudah kebanyakan universiitas, langsung saja bilang misalnya 70-80% program studinya harus terkait STEM. 20% boleh ekonomi, sosial, hukum, tapi 80% nya harus STEM. Kalau sekarang insinyur saja masih kurang, itu artinya kita belum mengarah ke STEM. Terlebih universitas kita kebanyakan. Isinya ya bidangnya itu-itu lagi. Bukan mau mengecilkan bidang ilmu lain, tapi itu bidang ilmu yang belum menjadi arus permintaan di masa depan untuk pasar kerja.
Kita juga sekarang sedang dalam masa bonus demografi. Jadi dari segi komposisi penduduk, ini yang paling ideal. Kalau kita mau ubah struktur penduduk kita jadi yang siap bekerja di era 4.0, ini eranya. Karena penduduk usia mudanya banyak. Dan ini yang bisa dilatih untuk menghadapi industri 4.0. Bonus demografi mulainya 2010 kemarin, puncaknya di 2022. Nanti balik lagi kita aging, itu sekitar 2040. Makanya SDM harus jadi perhatian, termasuk demandnya juga dari sisi penambahan investasi. (eds/eds)