Tambahan Kuota dan Ke Mana Larinya Dana Haji?

Wawancara Kepala BPKH

Tambahan Kuota dan Ke Mana Larinya Dana Haji?

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Jumat, 24 Mei 2019 10:14 WIB
3.

Bank dan Infrastruktur Haji

Tambahan Kuota dan Ke Mana Larinya Dana Haji?
Foto: Ari Saputra
Yang sempat muncul juga selama kampanye itu kan masih dengan merujuk Malaysia, membentuk bank haji. Karena kalau yang di Malaysia sendiri kondisinya seperti apa? kita memungkinkan nggak bikin seperti itu?
Ya kalau Malaysia tabungan haji kan sudah berusia 60 tahun. Dulu juga mulai kaya kita juga. Hanya mengurus uang saja kemudian tambah mandat, tambah mandat sampai akhirnya sekarang mengurus a sampai z. Dari pendaftaran, pembinaan, pelayanan, sampai pasca haji.

Sekarang kira ini kan hanya pengelolaan keuangan saja, sementara pendaftaran masih dilakukan di Kementerian Agama, pembinaan juga masih di Kementerian Agama. Apakah kita menuju ke sana? ya tergantung kepada political will. Mungkin saja, tapi kan jumlah jamaah kita jauh lebih banyak dari Malaysia. Malaysia hanya 24.000, sementara Indonesia 200.000.

Tapi kenapa Malaysia bisa sebesar itu, karena sudah 60 tahun mereka menggunakan sistem antrean ini di Malaysia kan sudah sampai 100 tahun. Indonesia kan baru 2 tahun ini dalam satu undang-undang yang dibentuklah BPKH. Jadi mungkin saja ke depannya mandatnya akan ditambah, tapi aku juga seperti ini saja. Apakah fungsinya seperti bank? tidak, kita kan bukan tabungan, juga bukan bank, tapi tabungan haji memiliki bank, bank Islam Indonesia. BPKH tidak memiliki tapi mungkin saja nanti bisa karena kita bisa berinvestasi termasuk memiliki objek.

Artinya kalau jemaah haji menabung ke bank haji, itu nasib bank-bank lain yang selama ini menerima?
Ya tentu beda, seperti pemerintah yang memiliki bank BUMN saja. Bukan berarti bank-bank di luar BUMN itu tidak dihidupkan, kan sama saja. Harus ada fair competition toh. Perbankan, lembaga keuangan itu harus berkompetisi harus profesional. Seperti pemerintah memiliki bank BUMN, tidak berarti yang lain kan tidak hidup, ternyata juga hidup, dan menimbulkan persaingan. Tapi tentu kalau punya bank sendiri tentu prioritasnya membesarkan bank sendiri.

Terkait antrean yang cukup panjang, kemarin kan sempat ada isu rekening virtual itu?
Sudah mulai tahun ini, kita sudah membagikan nilai manfaat jamaah yang menunggu, yang sekarang sudah 4 juta itu dalam bentuk virtual account.

Itu seperti apa bentuknya?
Ya kayak rekening virtual saja, rekening tanpa kartu, rekening tanpa buku tabungan ya. Jadi kan kita sering mendapatkan dana ya virtual account kepada kita, tapi dia tidak bisa diambil.

Tapi bisa mengontrol?
Bisa dilihat, sekarang saja juga sudah bisa kalau jamaah mau lihat berapa saldo uang saya, bisa dilihat di bank yang bersangkutan. Tanya nomor sekian, saldo saya berapa.

Belum bisa online?
Nantinya akan online. Bahkan siapa tahu nantinya kalau Undang-Undang yang memungkinkan bisa juga top-up, menambah. Tapi tidak bisa dimanfaatkan. Nggak bisa diambil kecuali dia batal. Kalau batal dikembalikan pokok dan nilai manfaatnya. Kalau sebelum ini yang dikembalikan kalau dia batal, dia meninggal itu hanya pokok saja. Tapi nantinya itu akan dikembalikan bersama dengan manfaatnya.

Artinya kalau saya bulan ini setor Rp 25 juta, tahun depan saya sudah bisa lihat-lihat manfaatnya?
Iya angka tambahannya berapa. Cuma tambahannya masih rate kecil ya, karena sebagian besar manfaat dipakai untuk jamaah yang berangkat. Dalam rangka tolong-menolong lah.

Sekarang ratenya Rp 70 juta lebih ya?
Ya Rp 72 juta, terendah sekitar Rp 60 juta berapa saya lupa. Tapi Aceh paling murah, karena kan paling dekat jarak. Paling mahal di Makassar dan NTB.

Sementara konsentrasi jamaah kita terbanyak Jawa. Jadi sebetulnya penikmat ini tuh masyarakat Jawa ya?
Ya karena tergantung pada jumlah penduduk muslimnya ya kuota itu tergantung pada satu per mil dikalikan 32 provinsi tersebut.

Selain soal bank kan sempat juga beberapa anggota dewan itu, ketika kita sempat ada kesulitan sama maskapai, duit kita banyak ratusan triliun, masa nggak sanggup beli pesawat sendiri? Itu sebenarnya memungkinkan nggak sih?
Mungkin, kita sebenarnya pernah menjajaki itu. Memang persoalannya kan kalau kita beli pesawat, kita kan harus menyerahkan operasinya itu kepada operator atau maskapai. Kita beli pesawat kan nggak bisa langsung beli, langsung kita supiri sendiri, nggak bisa. Jadi harus kepada maskapai yang punya fasilitasnya, punya maintenance-nya, keahliannya, modal, memang lisensinya harus lisensi penerbangan.

Jadi pada akhirnya kita beli atau kita mau leasing, longterm lease, ataupun mau operating lease, itu diserahkan pada maskapainya. Nah maskapai sebagai operator kan harus punya kondisi keuangan yang sehat. Jadi selama kondisi keuangannya belum seluruhnya sehat ya memang akhirnya belum tentu menguntungkan. Membebani perusahaan.

Dana haji selain tidak untuk infrastruktur, juga tidak untuk sosial. Tapi Gubernur Jawa Tengah Pak Ganjar bilang ada untuk kegiatan sosial, sebetulnya dana yang dimaksud Pak Ganjar yang mana?
Sebenarnya sama ini ya, cuma di media ini tidak dimuat secara utuh. Yang dimaksud adalah dana BPKH itu ada bagian yang dipakai untuk kemaslahatan sosial, kemaslahatan umat. Itu kita diwarisi oleh nilai pokok pada waktu itu Rp 3 triliun, sekarang Rp 3,4 triliun. Nah nilai manfaat yang Rp 3,4 triliun itu adalah untuk kemaslahatan. Itu sebetulnya.

Tapi itu bukan dana pemerintah, dan itu bukan atas permintaan pemerintah, itu adalah dananya umat hasil efisiensi dan hasil pengembangan disisihkan kemudian dimandatkan sekarang dari umat ke BPKH untuk mengembangkan nilai tersebut jadi nilai manfaat, dan nilai manfaatnya untuk 7 sektor, yaitu mulai dari pendidikan dan dakwah, kesehatan, sarana dan prasarana, ekonomi umat, sosial keagamaan, pelayanan ibadah haji. Jadi memang peruntukannya sudah ada. Sudah ada alokasinya, jadi itu dari pengembangan. Nah siapa yang mengalokasikan tadi? BPKH, bukan pemerintah.

Jadi seperti untuk bangun masjid rumah sakit begitu ya?
Iya, kami juga baru saja punya klinik umat di Solo, kerja sama dengan Solo peduli. Jadi sudah diresmikan. Kami juga punya rumah darurat di Palu, kami juga membangun beberapa masjid, kami juga bangun beberapa prasarana ibadah. Di Jawa Tengah ada, di Magelang ada, di Banyumas ada, di Yogyakarta ada, di Jawa Barat ada, di Sumatera Utara ada, Sulawesi Selatan ada, NTB ada, Jawa Timur juga ada.

Penegasan soal penggunaan dana haji untuk infrastruktur, itu kan investasinya di luar ya, emang nggak tertarik untuk infrastruktur di dalam negeri?
Ya sesuai dengan renstra kita, itu prioritasnya adalah investasi di Arab Saudi. Kenapa kok investasi di Arab Saudi, punya dua keuntungan nih, satu return, dan dua pemanfaatannya kan. Jadi dua hal, satu returnnya juga dapat, dua efisiensi juga dapat. Dua-duanya.

Kalau kita investasi di luar terkait dengan perhajian ya dapat return, tapi cuma return saja, nggak dapat yang satu lagi. Jadi bayangkan kalau kita punya hotel kan di Arab Saudi, kan kita dapat dua manfaatnya, satu returnnya, kedua kalau itu dipakai jamaah haji kita kan biayanya turun dan kemudian itu dibangun dan didesain jadi hotel khas Indonesia. Seperti katering kan juga sama, katering ada nilai manfaatnya. Kita bisa membuat katering yang khasnya, tastenya, citarasa Indonesia.

Jadi ada dua manfaat. Bukan berarti yang lain tidak ada manfaatnya, ada. Cuma kita bisa dapat dua manfaat bila investasi terkait perhajian.

Ini kan ada yang investasinya lewat sukuk, sementara kalau dari Islam kan, soal bunga dianggap riba. Jadi ini akadnya seperti apa?
Kalau sebetulnya akad dari dana haji itu akad makalah ya. Artinya si jamaah haji sebagai pemilik yang sah, itu memberikan kuasa kepada BPKH untuk mengembangkan, memanfaatkan, membayarkan, jadi itu pertama akadnya. Nah ada 5 jenis investasi, atau penempatan. 1, penempatan di deposito, giro juga boleh, tabungan juga boleh. Yang kedua surat berharga, yang ketiga emas, keempat investasi langsung, kelima investasi lainnya.

Kalau investasi itu akadnya macam-macam ya, kalau dulu itu pada waktu lima tahun yang lalu, sebelumnya itu surat berharga itu ada underliying-nya, jaminannya adalah pelayanan haji. Jadi itu namanya SDHI, Surat Dana Haji Indonesia. Jadi itu memang sangat khas, khusus, private placement tidak terbit di pasar, khusus bilateral dengan Kementerian Agama. Itu akadnya, akadnya amat namanya. Jadi uang itu dipakai untuk pelayanan haji saja.

Tapi kalau SDHI itu sangat terbatas penggunaannya, lalu sekarang namanya SBSN, Surat Berharga Syariah Negara, khususnya PBS, Project by Sukuk. Jadi underying-nya atau jaminannya adalah proyek, proyek pemerintah. Tapi akadnya ijarah, kayak kita sewa menyewa saja. Selama masa periode tersebut uangnya dipakai oleh pemerintah untuk membiayai proyek, setelah jatuh tempo dikembalikan seluruhnya, plus namanya imbal hasil. Itu setiap tahun imbal hasilnya bergantung pada akadnya.

Jadi itu yang soal akad. Sekarang paling banyak adalah PBS. Tetapi itu ada waktu jatuh tempo, itu kayak surat utang saja sebetulnya, berbasis syariah. Itu ada tenornya, ada jangka waktunya, ada nominalnya, dan ada indikatif yieldnya.

Kalau dari orang awam itu kan jaminannya itu pasti mendatangkan keuntungan dan dijamin tidak rugi?
Iya dijamin dikembalikan, karena yang jamin adalah pemerintah sendiri, negara yang jamin. Jadi tidak usah khawatir, resikonya 0, dijamin oleh APBN. Plus ada jaminan dalam bentuk proyek. Misalnya proyek yang menguntungkan, itu tergantung pemerintah ya, itu penerimaan-nya bisa dijaminkan ke kita, setiap tahun kuponnya dibayar, sesuai dengan indikatif kuponnya atau yieldnya, dan saat jatuh tempo dikembalikan seluruhnya, utuh.

Berapa lama rata-rata jangka waktunya?
Ada yang 10 tahun, ada yang 7 tahun, tapi untuk yang syariah 7 tahun itu sudah cukup panjang.

Nggak ada yang sampai 30 tahun ya?
Nggak ada, tapi bukan tidak mungkin.

Tapi ini relatif pendek ya?
Ini panjang untuk jenis sukuk ya. Sukuk itu biasanya pendek-pendek, 3-5 tahun. (fdl/fdl)

Hide Ads