Buka-bukaan soal OVO Masih Rugi Meski Patok Biaya Isi Ulang

Wawancara Khusus Presdir OVO

Buka-bukaan soal OVO Masih Rugi Meski Patok Biaya Isi Ulang

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Minggu, 26 Jan 2020 07:00 WIB
Foto: Presdir OVO Karaniya Dharmasaputra (Sylke Febrina-detikcom)

Kalau menghadapi persaingan pemain ewallet yang makin banyak langkah OVO seperti apa?
Kalau kami sih begini, kami punya teknologi yang saya kira sangat advance itu di Indonesia. Kedua, kita itu sangat sibuk sih terus berinovasi karena tadi emoney itu sebetulnya buat kami fondasi, tapi di atas emoney lagi-lagi kita ingin memudahkan masyarakat untuk bertransaksi. Bukan untuk lakukan pembayaran, tapi dari uang mereka bisa mendapatkan kredit, di platform yang sama, investasi, asuransi, itu yang penting.

Ketiga, kami kan juga memiliki strategic partnership dengan Tokopedia. Sehingga itu tadi sangat seamless, jadi semua aktivitas sehari-hari kita kurang lebih sudah bisa kita layani. Mau berangkat kerja ngeGrab bayarnya pake OVO, gampang. Udah di Grab wah OVO saya kurang tinggal topup, gratis biayanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siang di kantor laper, grabfood bayarnya pake OVO. Terus lagi capek kerja mau belanja baju ibu-ibu belanja online di Tokopedia, perlengkapan dapur itu bisa pakai OVO. Jadi fitur kita sanga kaya dan sangat banyak dan akan terus bertambah. Oh baru gajian nih mau invest, bisa ada Bareksa. Mau buka usaha nih langsung bisa pinjam juga.

Bagaimana pandangan bapak terkait pasar ewallet di Indonesia?
Besar banget, saya kira kita akan mengikuti jejak China dan India. Kalau kita lihat di negara seperti AS dan Eropa ewallet berkembang ya, di Amerika Serikat nggak ada karena kartu kredit penetrasinya luar biasa. Di China sama seperti kita, kartu kredit nggak tinggi tapi ewallet berkembang pesat.

ADVERTISEMENT

Apa penyebabnya?
Begini saya pernah ngobrol dengan salah satu founding tim Alipay dia bilang bahwa kami topografinya keuangan di Indonesia saat ini sama seperti China 10 tahun yang lalu.

Karena, itu tadi penetrasi perbankan juga nggak terlalu tinggi yaitu banyak sekali masyarakat yang unbank, underbank di situlah fintech masuk. Fintech yang melayani masyarakat yang unbank dan underbank. Kalau ke Eropa ke Amerika itukan udah bank banget masyarakatnya. Kartu kredit penetrasinya tinggi sekali.

Jadi di sana kebanyakan orang menggunakan ewallet untuk transaksi online. Penggunaan kartu kredit masih tinggi sekali. Di sini beda, masyarakat unbank masih besar, cash transaction kembali di awal kita masih 90%. Kalau di Amerika Serikat (AS) Eropa orang sudah cashless, tapi tidak berbasiskan fintech yang di area payment.

Apakah benar orang-orang di Indonesia masih gemar menyimpan uang di bawah bantal?
Iya benar, tapi pelan-pelan mulai berubah ya kalau boleh selipin soal Bareksa ya sama nih. Waktu 2015 angka investor di pasar modal kita itu cuma 250ribuan dan angka itu nggak bergerak banyak dari tahun ke tahun.

Karena waktu itu distribusi channel yang utama dari financial product kita dari perbankan. Sementara balik lagi teknis perbankan cuma 40an%. Highly consentrated di kota besar. Nah itu OJK mendorong pemain fintech nah waktu itu Bareksa kebetulan jadi perusahaan fintech pertama yang mendapatkan lisence penjual efek reksa dana dan langsung melejit. Sekarang hanya dalam waktu 4 tahun itu jumlah nasabah kita reksa dana, obligasi sudah mencapai 1,6 atau 1,7 juta. Dari 250 ribu lompat ke situ. Termasuk yang Tokopedia juga.

Nah buktinya ya ini dari angka Bareksa, merepresentasikan 42-43% dari keseluruhan jumlah nasabah di industri pasar modal kita. Dan belum yang lain ada pemain juga kan. Saya yakin sekali ini, Bareksa baru bersinergi dengan pemain ecommerce. Setelah Bareksa disupport OVO, ewallet company, angka pertumbuhannya pasti akan lebih besar lagi ya itu saya kira gampang deh mencapai 3-4 juta nasabah itu bisa.

Dulu waktu 2015 lagi ngobrol sama bu Nurhaida itu dia sangat berjasa dalam pertumbuhan ini. Misi beliau memang progresif ingin gimana nih kita memanfaatkan teknologi finansial ini untuk mendorong penetrasi market kita, relaksasi dilakukan banyak regulasi. Dulu kalau mau beli reksa dana itu cuma boleh download formulir, printout tanda tangan basah. Kirim balik gitu.

Minimumnya gede juga dulu ya, investasi di reksa dana itu minimal berapa juta gitu. Terakhir diturunin sejuta. Kemarin saya bikin sama Tokopedia dan Bukalapak Rp 10.000 perak bisa bikin reksa dana.

Makanya itu kita sebenarnya bisa atasi masalah inklusi keuangan. Market kita yang dangkal banget, ini angkanya sudah bergerak. Jadi balik ke OVO 27-28% pengguna OVO unbank dan underbank. Kalau di dunia investasi angkanya ini sinergi lagi jalan dan diminta BI untuk masuk ke sandbox kalau sudah masuk itu angkanya akan meningkat.

Kapan masuk?

Sekarang lagi siapin dokumen, mudahan minggu ini bisa submit dokumen itu ke BI


(kil/zlf)

Hide Ads