Awal tahun depan ya pak Insya allah?
Insya allah? ini kita apakah pasti ya nggak juga, jadi ya itu tadi ya supaya ekspektasinya faktanya kita masih buka ke masyarakat. Vaksin itu rata-rata 7 tahun. Paling cepat 4 tahun. Tapi karena ini pandemi seluruh dunia kasih resourcenya penelitiannya, usahanya, waktunya fokusnya kesitu. Ya insya allah secepat mungkin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini mungkin banyak ada di lembaganya pak Doni ya?
Untuk vaksinasi di tempatnya pak Terawan. Jadi di Kementerian Kesehatan sudah diputuskan oleh Bapak Presiden nanti akan di lakukan uji kesehatan, dan Kementerian Kesehatan lakukan udah miliyaran loh, setiap tahun, termasuk vaksinasi kan. Kan mereka buat anak-anak seperti BCG, ada difteri, hepatitis dan itu kan ada banyak vaksinasi yang sudah dilakukan oleh kementerian kesehatan, jadi mereka sudah punya pengalaman yang cukup panjang untuk program vaksinasi di Indonesia yang geografisnya memang challenging, ada banyak pulau, pelosok-pelosok seperti itu. Teman-teman di kementerian kesehatan memiliki pengalaman dan kemampuan yang sangat baik. Selain ekonomi kan ini masalahnya ini masalah kesehatan. Aku rasa ini teman-teman di kesehatan perlu diberikan untuk berbicara lebih banyak.
Saya cuman hanya bisa menyampaikan kepada teman-teman bahwa virus itu masih ada. Mari kita ubah perilaku, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, sampai semuanya di vaksin sehingga insya allah kita bisa kembali. Yuk kita fokus ke energi dan waktu kita ke kesehatan.
Pak Budi terkait vaksin ini nanti kita modelnya di tetes atau di suntik pak? Karena beberapa waktu lalu kan di Amerika itu Trump sempat kelabakan juga ternyata dia fokus bikin vaksin, nyari vaksin, terus untuk memvaksinasinya gimana? Kalau mereka pakai jarum suntik. Ternyata stok atau ketersediaan jarum suntik mereka terbatas. Nah kalau di kita? Andaikan itu juga harus di suntik? Apakah stok kita jarum suntik itu memadai?
Jadi kita juga belajar dari Amerika ceritanya seperti itu, jadi kita ngecek juga, saya dapat informasi dari Biofarma, Indonesia mampulah kalau 100 juta vaksinasi setahun, tapi ini kan hitung-hitungannya ya 60-70% dari populasi ya sekitar 160 juta orang yang harus di vaksin karena vaksinnya nyuntiknya kan harus 2x mesti ada boosternya selama 2 minggu lalu dia suntik lagi kaya hepatitis b. Itu kan jadi 320 juta, padahal kita seharusnya 160 juta. Ya jadi gimana cara pengadaan jarum suntik 160 juta? Ya itu alhamdulillah kita sudah cukup antisipasi, jadi sekarang stok yang ada, ada sekitar 150 juta dan kita punya kapasitas produksi di groupnya Indofarma itu setahun 350 juta dan di groupnya RNI ada Mitra Rajawali Banjaran itu setahun 120 juta untuk produksi jarum suntik yang kecil yang 1/2 ml.
Ini amanlah ya pak untuk jarum suntik stoknya?
Jadi sampai sekarang sudah mulai di produksi sama kita karena 350 juta. Tapi kalau kita mau suntik tiba-tiba dalam 3 bulan mau 100 juta maka kita harus stok dari sekarang. Itu sebabnya kita sekarang sudah mulai produksi sekarang untuk bisa melengkapi kebutuhannya gitu.
Ini belajar dari awal pandemi ya? Kita punya pabrik banyak, pabrik masker, pabrik APD. Giliran kita butuhkan tidak ada stoknya berkurang. Dan kita pikir kita bisa beli dari luar. Padahal semua orang juga butuh. Sama ini kan penduduk ini 7 miliar. Kalau mau di suntik 60% kan 4,2 miliar yang butuh kan. Tiba-tiba semua negara butuh 4,2 miliar jarum suntik dan orang mau vaksin secepat-cepatnya, begitu jadi kan dia pengen cepet donk disuntik, gimana nih 1 bulan 4,2 miliar? atau even 1 tahun deh 4,2 miliar ada tidak pabrik yang produksinya cukup, itu kan angka gede 4,2 miliar. Nah itu untung karena kita sudah tau sejak awal kita sudah nyetok dulu lah, sudah produksi dulu. Itu tadi 350 juta selama setahun kapasitasnya di Indofarma sudah mulai kita stok, kemudian di Mitra Rajawali Banjaran ini anak perusahaannya RNI 120 juta setahun kita sudah mulai bikin, dan sekarang kita sudah punya stok 150 juta. Jadi cukup untuk 75 juta orang pertama yang kita suntik.
Kalau lebih kita juga bisa jual kan? Kita ekspor?
Iya kita mikir jangan kaya masker sama APD gitu, nah kita sadar, begitu kita butuh, kita pikir semua itu ada ternyata seluruh dunia juga berebutan, jadi kita gk kebagian pada kejadian awal-awal. Kali ini kita lebih antisipatif ini dari 4,2 miliar kebutuhan jarum suntik seluruh dunia kan kita cetak duluan. kalau berlebih kita ke negara-negara kaya Papua Nugini, atau kaya Laos mudah-mudahan kita bisa ekspor ke mereka.
Oke. Kalau dari sisi obat pak? Kan bapak tanggung jawab juga pengadaan obat itu?
Obat-obat yang diberikan itu di awalnya dibagi menjadi 3 kategori yaitu obat antivirus, karena virusnya dikurangi. Sebenarnya sudah ada produksi dari grup farmasi itu namanya oseltamivir atau brandnya tamiflu, itu adalah obat antivirus yang di produksi dari dalam negeri dan walaupun bahan bakunya masih impor juga tapi kita sudah bisa produksi jutaan tablet, itu ada.
Tapi itu kasarnya paling paten lah, di atas itu ada faviviravir atau merk dagangnya avigan itu dibikin dari Jepang dan kita pernah impor dari yang pertama berapa ratus ribu tablet tapi sekarang alhamdulillah sudah bisa bikin di dalam negeri faviviravir. Kemarin bulan Agustus sudah 200 ribu dan sekarang kita lagi bikin 1 juta tablet ya supaya bisa dipakai. dan yang ke 3 ada yang dipakai Trumph juga namanya remdesivir ini suntik. ini kita masih belum produksi, kita masih bawa China dan India karena memang ampuh, ini memang ampuh terutama pada fase-fase lanjut. Nah ini sekarang kita lagi coba memporduksi juga bekerja sama dengan China dan India.
Jadi itu obat-obat antivirus di luar yang normal, jadi vitamin-vitamin, vitamin C, vitamin D, sama Zinc kita sudah bisa produksi di dalam negeri. Obat-obatan yang anti inflamasi seperti dexamethasone, sudah bisa produksi di dalam negeri. Sedangkan yang kita belum bisa produksi adalah Remdesivir sekarang kita coba, nah yang terakhir obat-obat imunomodular yang terkenal adalah toxilizumac merk dagangnya arctemra atau sarulumac merk dagangnya kemzhar. Ini dua masih kita impor. Dan ini life saving, benar-benar menyelamatkan hidup manusia pada saat-saat kritis.
(kil/zlf)