Angga juga bercerita mengenai usulan agar harga batu bara yang dijual ke pembangkit listrik dinaikkan dari US$ 70 menjadi US$ 90. Apakah hal itu akan membuat tarif listrik naik. Wawancara selengkapnya bisa disimak berikut ini:
Batu bara kita eksportir nomor dua terbesar di dunia kan. Tapi tiba-tiba awal tahun lho PLN-nya sendiri kekurangan. Kayak ayam mati di lumbung padi kalau kata peribahasa ini. Nah kalau dari asosiasi pengusaha batu bara sebetulnya yang terjadi kenapa ini? PLN yang lambat melakukan permintaan atau dari kalangan pengusahanya sendiri yang memang 'ah mendingan ekspor dah, harga jualnya lebih tinggi ketimbang PLN' misalnya begitu. Kan harga belinya rendah, bayarnya juga mungkin kadang-kadang lama gitu? Bagaimana yang terjadi sebetulnya?
Yang pertama dalam kondisi seperti ini sebaiknya kita tidak saling menyalahkan ya. Tapi kita mencari sebuah solusi bersama-sama secara komprehensif dan kolaboratif. Hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah dan mungkin sampai dengan Pak presiden sendiri memberikan statement itu kan berarti sudah ada sense of urgency ya terhadap ketahanan energi kita. Jadi menurut saya walaupun ini dianggap sebagai kebijakan yang short ya penghentian ekspor itu tapi ini kita maknai memang harus ada perbaikan tata kelola batu bara untuk menjamin ketahanan energi walaupun kita gembar-gembor green energy, transisi energi tapi factually-nya kan fundamental listrik kita masih 80% mungkin 85% ini masih disokong oleh batu bara ya. Jadi itu yang perlu kita cermati dan saya rasa dalam konteks transisi energi kita juga tidak bisa gegabah juga, harus benar-benar hati-hati dan harus benar-benar terencana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saran dari kami memang kita harus melihat core kompetensi daripada kita, kita kaya akan sumber daya alam ya, batu bara, gas bumi, itu memang harus dimaksimalkan dalam proses transisi energi Jangan sampai salah perencanaan seperti yang terjadi pada LPG misalnya gitu ya, kalau saya ingin menarik ini ke hal yang lebih makro. LPG kan kita nggak bisa produksi kan kita jadi sekarang impor juga. Nah ini jadi mudah-mudahan DEN benar-benar bisa lebih sensitif memetakan stepping daripada ketahanan energi karena kalau ketahanan energi kita masih terganggu ya kita untuk bertransformasi menjadi negara yang maju itu, G20, G8 akan sulit kalau masih kembang kempis seperti ini. Jadi benar-benar harus dipastikan karena investasi-investasi yang masuk ke kita pun yang saya cermati juga menginginkan adanya kepastian ketersediaan energi yang benar-benar kompetitif. Ini yang harus menjadi concern utama. Jadi poinnya menurut saya situasi yang kita hadapi di awal tahun ini seperti alarm ya yang menyadarkan kita kita perlu melakukan collaborative action antar stakeholder untuk menyelesaikan persoalan ini.
Memang benar ya para pengusaha lebih suka menjual keluar negeri karena harganya lebih tinggi?
Sebenarnya sih bukan dibilang lebih suka, dalam konteks konsep kita itu kan memang ada kewajiban DMO yang memang mengikat dalam rencana kerja kita, setiap perusahaan diwajibkan untuk memenuhi DMO, setiap tahunnya sekian banyak. Tapi kan di sisi lain dengan adanya harga yang cukup tinggi, dengan disparitas yang tinggi banget, jauh banget antara US$ 70 which is kalau kita ekspor itu bisa US$ 180 mungkin terakhir terakhir di akhir tahun itu bisa US$ 200. Itu kan menggiurkan para pelaku usaha 'ya udah gue ekspor dulu deh, nanti yang dalam negerinya nanti-nanti' gitu lho. Makanya itu kan sebenarnya harus ada schedule time juga kan, schedule time untuk saling ibaratnya mengisi lah antara satu perusahaan dengan perusahaan lain.
Jadi boleh dibilang sih kalau kita dari Aspebindo mungkin teman-teman sudah tahu kita dari bulan September sudah mengingatkan, ini udah kacau stockist menipis gitu lho, ya mungkin biasanya harusnya dalam konteks dua bulan ini mungkin berapa hari, dua minggu udah mengkhawatirkan. Jadi boleh dibilang ini situasi alamiah dari hukum ekonomi, di mana permintaan dari luar harga ekspornya cukup tinggi, yaitu menggiurkan dan automatically memang banyak teman-teman yang akhirnya memprioritaskan ke luar dulu.
Sebenarnya kan kalau skemanya atau mekanismenya sudah teratur sudah inlink antara satu sama lain sebenarnya kan itu bisa kelihatan perusahaan ini pemenuhannya berapa, perusahaan ini. Jadi di tengah jalan itu bisa langsung diperingati, sebenarnya kan begitu, dan izinnya kan setiap barang yang keluar ini kan harus ada izin ekspornya, izin kapalnya. Jadi mungkin sistem informasi antara ekosistem bisnis ini apakah belum terintegrasi? Nah sebenarnya ini sebagai evaluasi juga untuk bisa terintegrasi antara satu sama lain.
PLN sendiri sebetulnya sistem kontrak pembeliannya berapa bulan sekali dan berapa banyak?
Itu kan sebenarnya gini, kalau PLN itu ada yang kontrak jangka panjang yang dari awal, ada yang memang juga melalui IPP-nya masing-masing dan juga ada melalui PLN Batu Bara. Nah ini memang ya itu tadi, ini perlu dibenahi lah totally seperti apa, karena mungkin banyak sekarang dari trader trader yang ke PLN Batu Bara. Tapi kan dengan adanya PLN Batu Bara kan dia pasti juga ngambil margin, ngambil apa, harga belinya bisa jadi lebih murah lagi dibandingkan capting yang ada, dan mungkin menurut saya concern-nya bisa saja kan terkait juga dengan supply chain-nya juga, artinya secara logistik ini gimana? Kadang-kadang daftar antrean, surveyor, nah ini menyebabkan kadang-kadang juga lambat.
Kan kalau batu bara ini kan bukan berarti you ngirim barang langsung dibayar kan, nunggu disurvei dulu kualitasnya seperti apa, ini bisa satu bulan hal-hal seperti ini. Nah ini kan juga yang menyebabkan teman-teman tambang-tambang yang relatif kecil dia cost of fund-nya nggak bisa naik, cost of fund-nya kan jadi tinggi gitu. Ini yang harus diantisipasi juga gimana agar mereka bisa lebih efektif dan efisien, cost of fund-nya juga tidak berlarut-larut ini yang harus diterjemahkan dalam sebuah regulasi. Ya mungkin sih ini nggak terlalu lama. Kalau dulu harganya nggak ada disparitas yang tinggi sebenarnya normal-normal aja ya kan sebenarnya ya. Tapi kan ini kita nggak tahu karena COVID karena apa kita harus benar-benar antisipasi lagi sistem yang ada.
Tadi tempat disinggung soal trader. Itu kan kayaknya dari September-November juga sempat disinggung soal kemungkinan menghapus peran trader itu. Realisasinya seperti apa?
Saya rasa sih sebenarnya kalau ada concern seperti itu salah ya menurut saya. Trader ini kan sebenarnya muncul karena ada opportunity. Kan nggak semua tambang-tambang punya kemampuan finansial yang bagus. Sebenarnya trader inikan middle man ya yang membantu untuk mengeksekusi. Jadi menurut saya iklim yang sudah ada jangan langsung dipangkas tapi tinggal diberikan suatu KPI. Misalnya trader dia mau jual, dia harus ada kerja sama dengan tambang mana, tambangnya siapa yang men-support dia dan berapa, sebenarnya sih nggak ada masalah menurut saya. Toh kalau dari sisi margin sebenarnya kalau memang ini berjalan dengan baik masing-masing masih bisa mendapatkan margin yang cukup oke lah. Dan di sisi lain sebenarnya gini, kemarin ketika harga naik kan PNBP pemerintah juga tinggi ya, penerimaan kita akan besar ya. Nah itu kan sebenarnya bisa juga melakukan subsidi silang ya. Nah itu bisa dibahas lebih detail karena kan penerimaan kita juga dari sisi itu cukup tinggi juga.
Memang ada beberapa perusahaan yang akhirnya 'mengesampingkan', ini ada peluang pasar yang cukup menggiurkan, kita jual dulu deh ke luar. Kalau dari catatan Mas Angga, anggota Aspebindo kan ada ratusan/ribuan pengusaha yang terlibat. Itu ada berapa persen yang 'nakal-nakal'?
Sebenarnya kalau kita boleh bilang nakal sih gini, nggak semua batu bara ini bisa diserap oleh dalam negeri juga kan karena spesifikasi juga gitu lho. Ini kan harus diperhatikan kadang-kadang karena nggak bisa diserap ya kita saling bekerja sama untuk memenuhi DMO. Nah ini juga harus diperbaiki karena nggak semua spesifikasi batu bara ini bisa diserap oleh PLN ya. Saya rasa sih semuanya teman-teman ingin berbisnis secara baik ya. Apalagi kan bisnis batu bara ini barang yang kelihatan ya.
Ya kita kan pernah mengalami ya dari tahun 2000an mungkin dulu dikenal istilah koridoran, tambang tanpa izin, pemerintah melakukan penegakan hukum akhirnya sekarang mulai terkonsolidasi. Saya rasa ini bagian daripada proses konsolidasi ya agar memang iklim usahanya bisa sehat, para pengusahanya juga bisa punya track record yang baik. Jadi menurut saya ini bagian daripada sebuah proses menuju perbaikan. Adapun yang kena sanksi saya rasa kan diberikan juga waktu ya untuk memberikan sanggahan, memberikan tanggapan, memenuhi kewajiban-kewajibannya. Tapi ya kalau memang dalam jangka waktu tertentu sudah diberikan kesempatan tapi dia masih belum bisa memenuhi ya saya rasa juga apapun itu harus ditindak tegas.
Saya rasa ya negara harus hadir secara fix juga, dan harus kita lihat juga keberpihakan negara bukan hanya kepada yang besar-besar ya, mungkin kalau yang besar-besar pasti dia secara prudent-nya sudah memenuhi secara aturan-aturan. Tapi yang kecil-kecil juga ini wajib dibina kalau memang ada peluang untuk membinanya, jangan dibinasakan gitu lho, saran saya seperti itu jangan yang dalam quote yang besar-besar oligarki lah, silahkan sekarang kerennya oligarki yang mengatur gitu lho dan itu juga kalau kita boleh jujur kemarin kan juga di Undang-undang Minerba quote and quote sempat terkonfirmasi juga sebenarnya seharusnya kalau kita boleh firm, Undang-undang Minerba yang kemarin dibahas oleh DPR itu kan sebenarnya bisa menjadi pintu masuk memperbaiki tata kelola iklim bisnis yang ada gitu lho.
Nah beberapa kan sekarang di tahun 2022 PKP PKP2B yang besar itu kan akan habis masa kontraknya. Sebenarnya diseriusin bagaimana pemerintah bisa reformulasi model bisnis yang ada untuk menjamin ketahanan energi nasional juga. Itu menurut saya bisa menjadi entry point yang lebih strategis dan lebih solutif secara jangka panjang menurut saya. Nah itu yang menurut hemat saya jangan yang kecil-kecil dihajar diecerin, yang gede-gede di depan mata yang mungkin lebih mudah malah ya dibiarin aja gitu lho. Padahal kalau itu disenggol itu kan sudah bisa memenuhi sekian persen kebutuhan batu bara nasional. Tinggal keberaniannya aja seperti apa.
Kan isunya tadi terkait soal disparitas harga ya. Kita tahu November Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara untuk pupuk dan semen itu US$ 90 ya, yang non listrik. Sementara yang untuk PLN tetap US$ 70 ya?
Semen dan pupuk sebagai industri strategis itu di atas US$ 90. Tapi kalau yang dalam negeri itu non semen itu harganya kadang-kadang bisa lebih tinggi juga, harga market juga yang lain-lain gitu ya.
Berlanjut ke halaman berikutnya.