Tepis Badai Kritik Desain Istana IKN hingga Tak Mau Dibayar

ADVERTISEMENT

Wawancara Khusus Nyoman Nuarta

Tepis Badai Kritik Desain Istana IKN hingga Tak Mau Dibayar

Aulia Damayanti - detikFinance
Senin, 21 Feb 2022 14:03 WIB
Nyoman Nuarta GWK
Foto: Nandang Astika/detikTravel
Jakarta -

Seniman pematung, I Nyoman Nuarta mendadak jadi sorotan publik setelah desain Istana Ibu Kota Negara (IKN) yang didesainnya dipilih oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Terkenal sebagai seniman atau pematung, tak ada yang menyangka seorang Nyoman Nuarta juga ahli di bidang arsitektur. Meski lulusan jurusan Seni Rupa, Nyoman mengaku telah lama bergelut di dunia arsitektur, bahkan sudah mendirikan sebuah biro pada 1975.

Nyoman juga mengaku ketertarikannya terhadap dunia arsitektur sejak semasa SMA. Sejak duduk di bangku SMA, Nyoman mengatakan kerap kali memegang proyek arsitektur.

"Saya sebenarnya kalau formalnya dari tahun 1975 sudah membuat biro arsitek bukan biro patung. Dari SMA sudah membuat bangunan-bangunan arsitek itu dikerjakan digambar sendiri. Tetapi ketertarikan saya terhadap seni patung dan arsitek tidak ada bedanya sebenarnya," katanya dalam program Ask d'Boss detikcom.

"Jadi supaya kenal saya seorang arsitek bukan barang baru, cuma memang pekerjaan saya kebanyakan pekerjaan pribadi," tambahnya.

Bersama detikcom, Nyoman Nuarta menjawab berbagai pertanyaan tentang filosofi desain istana yang dirancangnya hingga badai kritik yang datang kepadanya usai desain tersebut ditampilkan.

Berikut ini wawancara lengkapnya.

Lagi sibuk dengan banyak project besar ya, Pak?

Nggaklah, jadi memang terakhir ini saya dikasih tugas untuk membuat basic desain istana. Itu sudah rampung desainnya sudah rampung tinggal hitung-hitungannya bukan tugas saya. Jadi dalam pelaksanaannya basic design itu kita namakan swakelola, pada saat itu kita belum memiliki Undang-undang IKN sekarang sudah, kemarin saya dengar sudah ditandatangani pak Presiden, setelah itu mungkin akan berbeda.

Tetapi sebelumnya belum jadi, jadi caranya swakelola. Kenapa demikian? supaya kita tidak mengalami persoalan di kemudian hari gitu loh. Terutama masalah administrasi harus ada dasarnya. Misalnya kalau saya diberi kontrak dasarnya apa itu kan belum ada, jadi saya sifatnya membantu PUPR, secara sukarela.

Bapak lahir di Tabanan, Bali 70 tahun yang lalu. Lulusan ITB Fakultas seni rupa dan kini menjadi pematung yang karyanya di mana-mana. Jadi dari awal sepertinya memang sudah tertarik dengan seni rupa ya?

Iya betul.

Cerita dong masa kecil Pak Nyoman sehingga bisa menjadi seperti sekarang, siapa, dan apa yang mempengaruhi sampai berani menekuni seni rupa?

Jadi saya lahir, saya besar kecil itu tahu tanah, tahu air itu di kampung, di Desa Tegallinggah, dan saya menyukai pertanian. Kampung kami penghasilannya ya bertani. Saya dari kelas 3-4 itu sudah bertani dengan orang tua. Bahkan kelas 4 saya punya tanggung jawab mengelola ladang saya, dengan ternak ternak itu saya diberi tanggung jawab. Saya minta dengan orang tua saya, saya minta dikasihkan kekuasaan di situ. Orang tua saya khawatir ini anak kecil sok mau tahu.

Ini saya tentu ngarit itu belum fasih, lalu saya dekati tetangga-tetangga saya yang tidak punya ladang tetapi punya ternak. Saya tawarkan, taruh ternaknya di ladang kita, dia bisa membantu saya mencari rumput saya dan sebagainya gitu caranya. Dia bisa ngangon dititipkan sapinya juga di tempat saya ternaknya. Nah saya bisa terbantu oleh itu. Dari kecil saya sudah berpikiran seperti itu. Sampai terus saya sudah ke Bandung beliau-beliau itu masih bekerja untuk orang tua saya.

Saya dibesarkan di kampung oleh paman saya yang saya kira orang tua saya yang asli. Ternyata ini lucu nih keluarga saya. Bapak kami dan paman kami kakak adik, ibu kami kakak adik, kakak nikah sama kakak, adik nikah sama adik, jadi nggak ada bedanya. Saya waktu kecil, baru kemarin saya tahu. Saya nggak peduli tetapi istri saya suka penasaran. Waktu bayi itu saya sudah dibawa ke kampung ikut sama tante saya tetapi saya memanggilnya ibu.

Bapak saya adalah seorang petani paham sekali mengenai budaya. Jadi orang-orang desa kalau konsultansi datanglah ke ayah saya yang menjadi ahli adat, tata krama Bali, beliau sangat tahu itu. Jadi saya terbiasa hidup dari kecil di lingkungan budaya. Bapak saya seniman kampunglah ya.

Tetapi dia berbakat. Saya lihat, dulu kan dia buron ya waktu zaman revolusi. Keluarga kami pada mengungsi di hutan-hutan karena dikejar-kejar Belanda sama Jepang. Di situ sambil sembunyi dia memahat bagus sekali. Barangkali dulu dia bisa sekolah berbakat sekali, tetapi kan ini di desa.

Pak Nyoman, berarti dari dulu dekat dengan budaya, dan dipengaruhi oleh keluarga yang dekat dengan hal tersebut?

Betul.

Sampai akhirnya memilih seni rupa dan menjadi pematung itu dipengaruhi siapa, Pak?

Jadi saya di Bali mengenalnya cuma melukis, zaman dulu itu idolanya pengin ketemu Afandi, Sunjoyono itu idola kita dulu waktu kecil. Di sekolah saya, guru saya bapak Ketut Dharma Susila dia pelukis tetapi kepala sekolah. Dialah yang melihat saya, jadi saya diadu-adulah sama yang kelihatannya berbakat.

Kita punya majalah dinding, sekarang saya dapat A besoknya dapat B, teman saya dapat A. Jadi setiap hari kita nggak mau kalah. Itu teknik setelah kita lama-lama baru sadar, ternyata begitu cara mendidik guru saya pak Dharma itu.

Kalau arsitek saya ikut membantu pondasi di sekolah itu, dulu ikutan waktu SMA bikin lapangan sepak bola saya buat sistemnya seperti apa. Kan dulu nggak ada namanya buldoser. Jadi dibagi itu dicangkul itu kita bagi berapa murid berapa ratus murid, masing-masing kerja setengah meter, satu meter dengan kedalaman sekian. Saya diserahkan 'pokoknya kamu bisa yang ngaturnya'. Dulu saya bukan arsitek yang menunjuk-nunjuk, tetapi di lapangan.

Bicara soal arsitek, Pak nyoman sendiri kan terkenalnya sebagai seniman pematung. Jarang orang mendengar bapak seorang arsitek, kemudian tiba-tiba muncul dengan gelar jabatan membuat desain arsitek istana baru di ibu kota di Kalimantan. Boleh cerita sejak kapan bergelut dengan arsitektur, sehingga bisa kepikiran untuk desain istana?

Saya sebenarnya kalau formalnya dari tahun 1975 sudah membuat biro arsitek, bukan biro patung. Dari SMA sudah membuat bangunan-bangunan arsitek itu dikerjakan digambar sendiri. Saya kan SMA, tadinya orang-orang di kampung saya akan ambil arsitek kan ada insinyur kan di kampung kalau insinyur naik kelas. Nah itu jadi semua termasuk dokter saya mengharapkan saya jadi arsitek.

Tetapi ketertarikan saya terhadap seni patung dan arsitek tidak ada bedanya sebenarnya. Maka dari itu saya kasih contoh, saya membangun GWK, arsiteknya saya juga, pematungnya saya saya juga, engineering-nya saya saya juga. Cuma perlu disahkan oleh ahli ahli.

Kebetulan GWK itu ahli struktur, itu ada teman saya saat di asrama dulu. Dia sekolah sekarang profesor doktor dalam bidang struktur. Dia yang menghitung segala macamnya, saya tetap memberikan konsep-konsep karena ini patung tidak mudah seorang ahli struktur masuk ke sana. Dari Jepang menawarkan diri, dari Inggris menawarkan diri, dia bingung karena saya menghendaki harus begini, dia bingung.

Itu kita semua yang merancangnya. Sekarang di base patungnya pemiliknya karena bukan saya lagi di GWK sehingga basenya patung tetap. Itu mungkin pertimbangannya pendana, bagaimana itu yang punyanya mengambil sikap seperti itu.

Jadi supaya kenal, saya seorang arsitek bukan barang baru, cuma memang pekerjaan saya kebanyakan pekerjaan pribadi seperti GWK, seperti Monjaya, itu kan pekerjaan pribadi cuma perlu pengesahan-pengesahan dari ahli-ahli.

Jadi secara tidak formal bapak seorang arsitek begitu?

Iya, karena buat saya arsitek itu gelarnya insinyur atau arsitek, arsitek gelarnya arsitek. Nah yang lebih penting karyanya atau gelarnya? Tinggal pilih itu.

Bicara soal Istana Negara Ibu Kota Baru kemarin, akhirnya ini lumayan bikin heboh ketika Pak Nyoman menampilkan gambar itu ada pro ada kontra juga. Cerita dong pak gimana awalnya sampai bapak kepikiran membuat itu? Apakah bapak diminta langsung secara pribadi oleh Presiden Jokowi? Atau ketika isu ada ibu kota baru, Pak Nyoman secara inisiatif mendesain istana atau bagaimana?

Begini. Saya bertemu Pak Jokowi itu ketika jabatan kedua kalau tidak salah. Itu pun ada yang unik, yang memperkenalkan saya adalah perdana menteri India, kan lucu. Jadi tamunya datang ke Indonesia 'Bisa nggak lihat Nyoman ada nggak di Jakarta?' Tadinya mau saya ajak ke GWK, nggak ada waktu. Saya ajak aja ke patung saya di Jakarta tetapi kecil, patung kuda itu Arjuna Wijaya. 'Ok lah nggak apa-apa di Jakarta aja'. Janjianlah kita diatur oleh protokol istana. Saya bilang ke protokolnya, saya itu nggak kenal dengan Pak Jokowi. 'Ah nggak mungkin' katanya gitu.

Ya sudahlah akhirnya disuruh nunggu di depan patung, Thamrin itu ditutup. sendiri. Karena kenal lama dengan Perdana Menteri India ini, Pak Modi ini karena pernah memberikan penghargaan kepada saya Padmashree itu katanya salah satu penghargaan tertinggi untuk sipil, kita kenal presiden juga kita kenal, kalau di sana kan Perdana Menteri yang berkuasa.

Saya ingin menghormati tamu, saya beli baju India, saya modifikasi tidak terlalu kelihatan India. Kemudian karena panas pakai topi biasanya juga saya pakai topi. Turun beliau berdua pakai buggy, Pak Jokowi yang nyetirnya. Pak Jokowi turun duluan. Saya mau nyapa, beliau lurus aja ke meja mimbar.

Pak Modi ini belakangan langsung peluk pelukan sama saya 'sudah kangen nih Nyoman'. Karena mungkin nggak ngeh, dikira mungkin saya orang India karena saya pakai baju India. karena kan kita menghormati tamu saya pakai itu. Akhirnya melihat itu, Pak Jokowi ngeliat ke belakang 'Ini siapa nih?'. Akhirnya melihat begitu Pak Modi bijaklah, beliau memperkenalkan 'ini Nyoman dulu saya pernah kasih penghargaan'. Barulah ingat Pak Jokowi.

Justru baru kenal dengan pak Jokowi?

Baru kenal. Jadi isu yang dituduhkan kepada saya Nyoman Nuarta jelas yang dipilih karena tim suksesnya Pak Jokowi, katanya. Itu berat banget, ya tapi nggak apa apa. Jadi itu, jadi saya diundang oleh Menteri PUPR, Pak Basuki untuk menjadi juri master plan, entah apa pertimbangannya. Saya ditelepon Pak Gubernur Bali, katanya Pak Presiden ingin ketemu. Waktu itu lagi bulan puasa saya lagi ngobrol dengan raja-raja Ubud.

Ini tahun berapa? 2019?

Waktu pemilu kedua, lupa itu saya.

Akhirnya malam-malam saya lari menuju Kuta, saya datang ke situ ketemulah Pak Basuki. Karena dari Ubud ngebut sudah telat. Terus ngomong 'Pak Nyoman saya sudah ngomong dengan Pak Presiden Pak Nyoman dimasukkan sebagai dewan juri'. 'Oh iya terima kasih,' saya bilang begitu. Pak Jokowi turun, saya melihat beliau capek banget. Saya dibilang 'Mau ketemu nggak?' Saya bilang 'Nggak usahlah Pak Presiden kasihan, udah cukup saya ketemu bapak,'

Jadi ini sebelum bapak bertemu di Istana dengan Perdana Menteri India?

Sesudah atau sebelum itu saya lupa. Artinya belum pernah kenal dekatlah. Beliau hanya dengar-dengar nama saya. Jadi kurang lebih begitu.

Setelah itu kita mulai aktif ikut dengan jadi penjurian di Jakarta, menanglah Sibarani itu, saya yang menangkan. Setelah itu kita juga berpikir desainnya cukup bagus, ternyata berbeda. Lokasi sekarang itu kontur tanah itu luar biasa itu. Jadi sebagian itu desain awal tidak mungkin diterapkan, karena kita juga merasa Sibarani cs itu sudah studi di lapangan. Ternyata dia bikin flat begitu tidak ada tempat rata di sana, tempat berbukit bukit begitu. Ya kita juga belum pernah ke sana. Begitu ceritanya.

Jadi saya kemudian, beberapa lama kemudian, saya dapat panggilan PUPR, diundang ikut berpartisipasi khusus mendesain antara lain Istana, masjid agung, dan tempat ibadah lainnya, DPR ada 12 desain dalam waktu 10 hari.

Ini berarti semacam sayembara tertutup?

Itu biasa dilakukan seperti itu, cuma saya diundang sendiri. Saya berpikir kenapa saya diundang sendiri? karena sebelumnya mereka meninjau, Pak Menteri, Pak Jokowi itu melihat GWK. Waktu itu saya pernah ajak peresmian saya ajak ke atas, beliau melihat strukturnya begitu rumitnya. 'Waduh rumit banget ya' 'Iya Pak rumit sekali,' saya bilang. Akhirnya toh jadi juga kan.

Itu kan GWK ada lubang, yang kita bisa berjalan di kaca, kita bisa lihat struktur bawahnya. Beliau sempat lihat begitu, dia senyum-senyum entah apa artinya. Sudah gitu cuma segitu waktu di bawah salaman juga nggak sempat karena sudah dikeroyok banyak orang, saya mental gitu aja gitu.

Setelah itulah, karena pernah berhadapan kenal, tetapi seperti orang pikir saya sudah ngobrol akrab itu belum, itu jauh. Bahkan sampai kemarin itu presentasi kemarin baru akhirnya bisa ngobrol berdua. Jadi saya bilang orang banyak yang meragukan saya wajar wajar aja. Tetapi mereka melihat GWK yang ngomongin struktur baru dia pusing. Itu belum pernah ada struktur serumit itu.

Tonton video 'Nyoman Nuarta: Menangkis Badai Kritik Desain Istana IKN':

[Gambas:Video 20detik]



ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT