Clayton Allen Wenas atau Tony Wenas kini dikenal sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Siapa kira, orang di balik salah satu tambang emas terbesar di dunia rupanya meniti karirnya sebagai musisi.
Dalam Big Cheese detikcom, Tony Wenas bercerita panjang mengenai awal mula kecintaannya pada musik. Tony mengaku, jika dirinya mengenal musik dari keluarganya.
Meski orang tuanya bukan musisi dari kecil Tony disuguhkan oleh lagu-lagu yang diputar oleh orang tua dan kakaknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi gini saya itu dibesarkan di satu keluarga yang memang dari kecil sepanjang hari di rumah saya dengarkan musik terus, gantian lah. Entah ayah memutarkan lagu ini, ibu saya, ada kakak saya, ibaratnya saya bangun sudah mendengar suara musik," katanya.
Tony pun terus berlatih alat musik. Di bangku SMA, ia membuat band dan melakukan rekaman. Dari situ, karirnya mulai cemerlang sebagai musisi. Bahkan, ia mengaku mendapat bayaran hingga puluhan juta sebulan jika nilainya diukur dengan saat ini.
Di bagian lain, Tony juga bicara rencana pemerintah untuk menambah saham 10% pada Freeport. Kemudian, ia juga mengungkap rencana perusahaan untuk melanjutkan operasi hingga 2061. Berikut wawancara lengkapnya:
Bicara soal musik, bagaimana caranya Anda membagi waktu antara memimpin salah satu perusahaan atau perusahaan tambang terbesar di Indonesia juga dengan membagi waktu hingga saat ini? Bahkan bela-belain atau beraninya bikin konser tunggal seperti Pak Tony?
Pertama, mungkin saya harus klarifikasi dulu. Yang bikin konser tunggal Tony Wenas The Piano Man itu adalah PAPPRI. Bukan saya yang bikin, saya cuma nyanyi doang. Jadi, saya tidak menghabiskan banyak waktu untuk persiapan. Untuk latihan aja. Latihan, dan kemudian konser.
Nah, tapi balik lagi, bagaimana caranya bagi waktu? Bagi waktu tuh, waktu tuh 24 jam ya. Nggak pernah kurang, nggak pernah lebih. Dan sudah dari ribuan tahun waktu tuh 24 jam. Siklusnya seperti itu. It's a matter of we, bagaimana kita bisa manage waktu.
Waktu 24 jam, kita tidur 6 jam. Saya sih cukup tidur 6 jam ya. Pagi di rumah 2 jam, jam 6 sampai jam 8 atau setengah 6 sampai setengah 8. Malam di rumah 2 jam, jam 10 sampai jam 12 malam. Jadi, udah 10 jam. Masih ada 14 jam satu hari. Jadi, kalau saya kerja di kantor, katakanlah 5 jam satu hari. Itu sudah banyak kalau 5 jam satu hari.
Itu masih ada 5 jam lagi. 5 jam lagi ini kalau untuk kegiatan saya di Kadin, barangkali 1 jam satu hari. 5 jam satu minggu kan gitu. Jadi, masih ada 4 jam lagi. Kemudian dari 4 jam itu, masih ada kegiatan-kegiatan lain. Katakanlah kegiatan saya di gereja, kegiatan saya di IMA, itu setengah jam satu hari lah, 2 setengah jam, satu jam. Itu masih ada 4 jam lagi.
Jadi, kalau kita main musik 5 jam satu hari, atau berorganisasi 5 jam satu minggu gitu ya. Berarti kan cuma 1 jam satu harinya. Dan itu cukup. Nah, sekarang tinggal bagaimana kita kemudian membuat waktu kita efisien. Maksudnya, kalau emang rapat bisa 1 jam selesai, ya selesai aja 1 jam. Sehingga punya waktu lagi buat networking. Jadi, harusnya bisa lah mengatur waktu.
Cuma memang kadang-kadang kalau jadwalnya penting sekali gitu, misalnya harus menghadap menteri atau gimana, nah ini kadang-kadang suka conflicting. Conflicting schedule ini yang harus dicarikan. Tapi, kalau dari segi jumlah waktu dan ketersediaan waktu, harusnya bisa lah.
Harusnya bisa dan cukup untuk bisa jalankan banyak kegiatan tadi?
Tinggal kita disiplin.
Walaupun kita juga masih cukup terheran-heran dengan tadi banyak banget schedule yang dibilang Pak Tony. Bahkan kayaknya 24 jam tuh keisi semua. Nggak ada waktu buat merenung?
Ada, saya mesti punya beberapa waktu itu. Itu udah menghitung macetnya Jakarta. Di mobil kan juga bisa merenung. Dan Sabtu-Minggu kan nggak dihitung ya. Karena Sabtu-Minggu adalah hari saya untuk sama keluarga. Hari saya juga untuk introspeksi dan lain sebagainya.
Soalnya Gen Z sekarang tuh 'waktu buat merenungnya mana' gitu. Karena mereka butuh ketenangan buat healing dan sebagainya?
Oh ya, me time juga ada. Kalau saya traveling, kan sering banget traveling. Traveling itu di pesawat saya, waktunya tidur dan waktunya juga menung.
Siapa sih sebenarnya yang mengenalkan Pak Tony dengan musik atau ada momen khusus nggak?
Jadi gini, saya itu dibesarkan di satu keluarga yang memang dari kecil itu sepanjang hari di rumah saya itu adalah mendengarkan musik terus, gantian lah. Entah ayah saya yang memutarkan lagu ini, kemudian habis itu ibu saya, ada kakak saya, terus. Jadi ibaratnya selama saya bangun itu pasti sudah ada suara musik.
Ayah dan ibu juga ada profesi dengan musik?
Nggak ada profesi, tapi mereka menyenangi musik. Jadi senang mendengarkan lagu, suka dansa-dansa, dan lain sebagainya. Dan juga dari musik kecil, saya suka ada kakak saya ulang tahun, dulu zamannya band di rumah, gitu kan. Jadi ada band yang datang main, kan melihat terus. Jadi memang saya terus-terusan tertarik sama musik. Dan saya dari kecil, dari umur empat tahun itu udah nyanyi, udah nyanyi secara itu ya. Dengan penyanyi beneran, nyanyi di panggung.
Di panggung gitu, di luar dari acara-acara keluarga?
Iya. Ada penyanyi cilik lainnya, ada Nanien Sudiar, sama-sama Nanien Sudiar, ada Wiwiek Sumbogo pada saat itu. Jadi memang sering, jadi kalau nyanyi itu dari kecil. Kemudian mulai SD, kemudian dibelikan gitar, belajar main gitar sendiri, bisa. Dibelikan piano, juga belajar main piano, bisa sendiri. Jadi akhirnya terus dari situ.
Dari situ lahirnya dipupuk kecintaan sama musik?
Iya. Jadi kalau nyanyi, main piano, memang yang paling aktif adalah nyanyi dan main piano. Di gereja baru belakangan. Kalau dulu masih muda, lebih banyak main. Di SMP bikin vokal group, kemudian SMA bikin band. Udah mulai rekaman dari tahun 1977, SMA tuh saya udah mulai rekaman. Dan terus lah, berkarir terus dari situ.
Cerita dong, awal akhirnya nge-split karir akhirnya antara musik dan juga di dunia profesional, di dunia tambang gitu. Apakah Pak Tony pernah terpikir waktu itu meneruskan karir di bidang musik, menjadi seorang musisi, atau ada dilema waktu itu ketika menentukan karir?
Begitu saya terus bermusik lah. Kalau dia bilang dulu bermusik tuh zaman tahun 1980-an itu ya, income-nya lumayan lah. Kalau dihitung mungkin dengan kurs sekarang ya. Income-nya tuh barangkali saat itu sekitar US$ 3.000-an sih ada. Atau sekitar sebulan bisa Rp 40-50 juta dengan uang sekarang ya.
Itu main di mana dulu?
Main rekaman, show-show. Uang semester saya Rp 15 ribu. Saya setiap kali nyanyi dibayar minimal Rp 50 ribu. Jadi sekali nyanyi tuh dibayar, bisa bayar untuk 3 semester kuliah.
Itu bersama Solid 80?
Iya, Solid 80 dan beberapa grup lainnya. Ada Symphony dan lain-lainnya. Jadi sebenarnya, kalau dari segi income, promising lah. Dan apalagi pada saat itu lumayan terkenal lah.
Tapi kan kemudian begitu saya lulus kuliah, kemudian saya berpikir, ini apa yang harus saya lakukan? Kalau saya terus bermain musik, nggak bisa dua-dua yang dijalankan sekaligus, penuh gitu ya, penuh waktu. Jadi saya harus memilih. Akhirnya saya berpikir, aduh ini kelihatannya musik tidak terlalu menjanjikan untuk keberlanjutannya. Nanti pada saat usia tertentu, pasti memudar gitu kan. Yang udah-udah banyak juga yang kayak gitu ya. Ngetop, habis itu memudar. Jadi saya pikir ya udahlah, saya ke jalur profesional, bekerja aja di perusahaan. Mulailah saya bekerja di perusahaan.
Tapi kan habis itu tetap aja nggak bisa kemudian meninggalkan musiknya itu sendiri. Akhirnya balik lagi. Maksudnya bukan balik lagi, musik menjadi...nyambinya di musik.
Tapi ada dorongan dari orangtua juga kah waktu itu untuk nggak usah di musik?
Oh nggak, nggak ada. Orang tua saya sangat liberal. Ibaratnya mereka dari awal saya mulai main musik secara profesional, bahkan kuliahnya terlambat selesai. They don't have a problem with that. Kenapa? Pokoknya selama itu positif, ya lakukan aja terus.
Tapi ngelihat Pak Tony itu visinya sudah melihat bahwa wah ini musisi kalau diteruskan nanti nggak sustain gitu, untuk menopang kehidupan gitu. Sampai saat ini pun kita masih banyak melihat musisi kayak gitu. Pak Tony melihat itu bagaimana?
Tapi sebenarnya kalau sekarang itu sudah jauh berbeda situasinya. Basically you can, if you, contoh lah teman-teman saya juga kan sudah seumur-seumur saya bahkan yang lebih, God Bless masih bertahan walaupun senior-senior saya gitu kan. Fariz RM usianya udah 2 tahun, 2-3 tahun di atas saya, sahabat saya Fariz RM terus aja bisa berkarir. Addie MS juga seperti itu dan lain-lain ternyata kalau memang di maintain dengan betul, dengan serius, dengan proper management system, bisa bertahan ko. Musisi-musisi yang sekarang juga bisa.
Dan kita lihat lah di luar negeri juga musisi-musisinya bisa terus. Saya barusan nonton Rolling Stone bulan yang lalu gitu ya. Umur 80 tahun di Phoenix. Kebetulan lagi berkunjung ke head office kita di sana sempat nonton. Umur 80 tahun bayangkan masih bisa loncat-loncat di atas panggung dan stabil. Itu kan well manage ya. Jadi kalau kita well manage, harusnya sih memang bisa.
Saya dulu berpikir tidak seperti itu. Karena talking about 40 tahun yang lalu. Akhirnya harus.....Tapi saya tidak menyesali pilihan itu. Saya tidak menyesali. Kita nggak boleh menyesali apa yang sudah kita pilih. Orang bilang, teman-teman, lu kenapa dari dulu jadi musisi aja terus? Ya, saya juga masih musisi kok sekarang.
Dengan Pak Tony bilang dulu bisa menghasilkan sebulan kalau di kurs sekarang bisa sampai Rp 40 juta tuh kayaknya harusnya adalah sesuatu yang too good to be true gitu?
Tapi kan habis itu saya berpikirnya lebih kepada sustainability. Saya nggak mau menyebut nama, tapi saya melihat beberapa contoh penyanyi yang tenar sekali gitu ya. Tapi habis itu kemudian tenggelam begitu aja. Itu ada beberapa contoh yang saya nggak mau sebut namanya. Begitu populer sekali tau-tau tiba-tiba dia berhenti sedikit kemudian fading away.
Lihat juga Video: Ribut-ribut soal Ormas Agama Garap Tambang, Bahlil: Maunya Apa Sih?