Eksklusif Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono

Peta Jalan Mengembalikan Kejayaan Perikanan Indonesia

Retno Ayuningrum - detikFinance
Rabu, 11 Des 2024 08:05 WIB
Jakarta -

Indonesia dianugerahi dengan mempunyai luas laut yang besar. Kondisi geografis inilah yang membuat Indonesia disebut sebagai negara maritim.

Dengan hampir luas wilayah 70% lautan, Indonesia mempunyai sumber daya kemaritiman yang melimpah. Namun, belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal.

Berdasarkan catatan detikcom, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono pernah mengungkapkan beberapa tantangan dalam mengelola sekaligus menjaga laut Indonesia. Salah satunya, baik masyarakat pesisir hingga pengusaha belum peduli menjaga ekosistem laut dalam aktivitasnya.

Hal ini dapat dilihat dari nelayan yang masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional yang dapat merusak ekologi. Selain itu, nelayan juga masih menangkap ikan secara tidak terukur sehingga berdampak pada keberlanjutan ekosistem laut. Bahkan masih banyak pihak yang memanfaatkan ruang laut Indonesia untuk kepentingan reklamasi dan pariwisata.

Kepada detikcom, pria yang akrab disapa Trenggono mengungkapkan sejumlah strategi untuk membangkitkan kembali sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Berikut cuplikan lengkap wawancaranya.

Gimana rasanya jadi menteri lagi di bawah kepemimpinan yang berbeda, Pak?

Ya, ini sebenarnya lebih ke arah ini sesuatu yang ideal ya, jadi boleh dibilang kayak panggilan. Dulu kan sebetulnya ketika saya ditugaskan Pak Presiden Jokowi untuk menjadi Wakil Menteri Pertahanan satu tahun, saya terima karena itu adalah sesuatu yang menarik buat saya untuk terutama bagaimana mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Lalu satu tahun dua bulan saya mendampingi Pak Prabowo, kemudian ditugaskan lagi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Hampir satu tahun kurang lebih saya belajar tentang kelautan dan perikanan ya, jadi empat tahun sampai dengan sekarang ini, empat tahun lebih satu bulan lah.

Berarti di masa periode Pak Prabowo sekarang sudah masuk mau dua bulan, ya?

Mau masuk dua bulan. Jadi sebenarnya setelah empat tahun itu, jadi saya sudah tahu persis apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dikerjakan. Dan Kelautan dan perikanan mau menuju kemana sudah clear gitu.

Salah satunya juga ada delapan misi besar dalam Asta Cita, yaitu swasembada pangan. Ini juga KKP punya peran besar, dan ini terkait dengan strategi untuk mengejar swasembada pangan yang kabarnya dimajukan lagi jadi 2027. Dari sisi KKP, seperti apa strateginya?

Ya tadi kan, tadi ditanya tuh rasanya gimana dengan dua kepemimpinan yang berbeda. Rasanya sih mirip ya, cuma kalau Pak Jokowi dulu ke arah hilirisasi, sumber daya alam. Kalau Pak Prabowo sekarang lebih menekankan kepada, karena hilirisasi kan sudah ya, artinya sudah berjalan dan kita terus merambah ke sektor-sektor yang lain kan gitu. Nah, sekarang di Pak Prabowo ini lebih ke arah bagaimana ketahanan pangan kita kuat, jadi artinya swasembada pangan.

Kalau kita bicara pangan kan ada tiga, ada karbohidrat, ada lemak, ada protein. Protein ada dua, protein dari hewani, protein dari perikanan. Nah, saya kebetulan kan menangani bidang kelautan dan perikanan. Satu sisi menjaga ekologi laut tetap harus baik, karena itu kan menyangkut soal masa depan. Masa depan umat ya, bukan hanya bangsa Indonesia, tapi juga umat, khususnya kepada bangsa Indonesia.

Lalu, yang kedua adalah tekanan ekonomi juga dari sisi lainnya. Tekanan ekonomi, jadi karena ekonominya, manusianya terus meningkat kan ekonominya juga harus meningkat. Nah, sementara daya dukung alam, khususnya laut ya segitu, cuma segitu. Ini bagaimana kita mengolah, menyeimbangkan antara ekologi dan ekonomi.

Nah, terkait dengan soal swasembada pangan sebagai satu kekuatan ketahanan kita terhadap pangan, khususnya di sektor protein, kita mendukung. Karena domain-nya di situ, pangan kan tiga hal tadi, soal karbohidrat, beras ini oleh Menteri Pertanian sekarang sedang genjot all out di seluruh wilayah-wilayah persawahan, sekaligus membuka lahan persawahan baru. Itu satu sisi.

Indonesia Timur itu ya?

Ya di antaranya Indonesia Timur, nanti revitalisasi yang di Kalimantan Tengah, dan di wilayah-wilayah lain yang lalu di-improve lah supaya produksi pertanian kita, produksi padi kita meningkat. Dengan demikian karbohidratnya kita cukup kan gitu ya. Lemak kan ada perkebunan, ada perkebunan sawit gitu ya, yang digunakan untuk kepentingan lemak.

Tapi kan itu jumlahnya mungkin juga tidak besar untuk kepentingan lemak. Selisihnya dikembangkan untuk energi, seperti itu B35, B100, dan lain sebagainya, ya saya tidak ikutin di situ. Tapi yang terakhir soal protein, karena menjadi penting. Kalau makan karbohidrat, proteinnya nggak ada kan repot. Nah kita secara neraca, kan kalau dari sisi protein kita cukup kuat ya. Import kita sedikit sekali, cuman kisaran kira-kira US$ 700 juta. Sementara ekspor perikanan kita di rata-rata US$ 5,5 miliar.

Komoditas terbesarnya apa?

Udang, tuna, cakalang, cumi, sotong, gurita, dan beberapa ikan lain ya, yang kecil-kecil tapi kalau dikumpulin juga cukup besar. Itu menjadi sebuah andalan kita, yang ekspornya cukup tinggi. Dan kemudian produksi kita, kalau produksi tangkap itu kira-kira sekitar 8 juta ton. Sementara produksi budidaya, untuk ikannya ya, jadi rumput laut dipisahkan dulu nih. Budidaya itu sekitar 5 juta ton. Jadi total produksi untuk ikannya 13 juta ton, ditambah dengan rumput laut 9 juta ton. Jadi 24 juta ton kurang lebih ya.

Jadi untuk diekspornya sebagian besar ke negara mana?

Kalau ikan tadi terhadap 4-5 komoditas itu yang paling besar ke Amerika. Amerika, China, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Itu ekspornya. Tapi saya mau ceritakan bahwa ketahanan protein, yang paling tinggi itu kan protein dari ikan. Karena dia ada kandungan omega-3, kandungan omega-5, omega-6. Kemudian saya bisa katakan sumber protein dari ikan ini yang paling tinggi, paling bagus, dan kemudian paling murah. Nah tinggal cara mengolahnya.

Kalau di Indonesia Timur kan segala jenis kan tidak susah. Kalau di wilayah-wilayah tertentu seperti di Jawa, di Sumatera misalnya begitu, itu butuh yang selektif. Ada ikan darat juga, ikan air tawar.

Inisiasinya akan seperti apa untuk di wilayah yang mungkin mayoritas bukan di kawasan pesisir, akan seperti apa nanti skemanya?

Kalau di Jawa Barat misalnya, tematik di Jawa Barat itu suka dengan ikan-ikan air tawar. Seperti nila, gurame, terus kemudian ikan-ikan mujair. Kalau di Jawa Tengah itu lele. Kalau di Jawa Timur campuran, tapi lebih banyak juga ikan laut. Kalau di Indonesia Timur, ikan laut semua, dan semuanya cukup memadai.

Ini juga salah satunya dari swasembada pangan ini untuk mendukung program makanan bergizi gratis juga ya? Nah, ini juga nantinya akan seperti apa? Mulai dari hulu hingga ke hilir, program makanan bergizi gratis dari perspektif Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan seperti apa?

Jadi gini, kita kan punya lima roadmap perencanaan jangka panjang di Kementerian Kelautan dan Perikanan itu. Ada lima kebijakan ekonomi biru kita sebutnya.

Yang pertama soal pengelolaan konservasi, wilayah konservasi. Kita ingin memperbesar kawasan konservasi hingga mencapai 30 juta hektar, sampai dengan tahun 2045.

Lalu, penangkapan ikan di laut harus terkontrol dan terukur. Itu PP Nomor 11 Tahun 2023 sudah lahir, jadi penangkapan ikan di laut itu ke depannya nggak sebebas-bebasnya gitu ya. Tapi ya tentu yang sudah siap untuk ditangkap. Yang kecil nggak boleh. Kalau sekarang pun main digaruk aja semuanya. Jadi tidak sustain gitu.

Nah, kemudian yang ketiga, itu budidaya kita arahkan untuk menjadi core competence Indonesia. Jadi, kalau di Vietnam itu budidaya ikan itu produksinya sampai 25 juta ton setiap tahun. Kita masih baru 5 juta, padahal kita negara maritim. Nah, itu salah satunya yang kita mengejar ketertinggalan. Kalau kita bisa mencapai yang tinggi, rasanya sih mestinya kita menjadi paling bagus.

Keempat, itu pulau-pulau kecil, pengawasan pemanfaatan dan pengawasan pulau kecil.

Kelima, pembersihan sampah plastik di laut itu yang jadi penting juga ya. Tapi yang saya ingin sampaikan dalam hal penyediaan pangan khususnya protein. Apalagi dikaitkan dengan makan bergisi gratis. Ada 30 ribu rencana, ada 30 ribu dapur. Setiap dapur melayani 3 ribu siswa seluruh Indonesia. Nah itu kan sangat luar biasa. Belanjanya menurut Kepala Badan Gizi yang disampaikan ke saya, satu hari itu Rp 1,2 triliun. Jadi kalau Senin-Jumat berarti kan Rp 6 triliun itu uang yang di-spending.

Nah, kalau ini kemudian beredar di seluruh masyarakat, di desa-desa. Satu desa katakan ada 3 ribu siswa di situ, ada 30 ribu desa. Itu ekonominya kebayang, 'kan? Kalau itu kemudian kita mendorong untuk membangun, kemarin kita dengan Menteri Desa salah satunya adalah membangun misalnya desa perikanan. Jadi misalnya desa gurame, desa lele, desa patin, desa nila, misalnya begitu. Harapannya supaya dia bisa dibeli oleh dapur itu, lalu kemudian digunakan untuk kepentingan pemenuhan protein setempat.

Tapi sisi lain kita juga dari sisi negara, pemerintah, kita ingin membangun kawasan budidaya yang luas, yang masif. Nanti yang dikelola oleh korporasi, lalu produknya dalam kuantum atau dalam kuantiti yang besar, yang bisa diolah ke proses hilirisasi berikut, bisa menjadi bakso ikan, bisa menjadi fishball, dan lain sebagainya. Taste-nya dan lain sebagainya itu bisa secara umum bisa diterima, dan kandungan proteinnya tinggi.

Terkait dengan hilirisasi, jadi produk perikanan juga nantinya akan dihilirisasi. Perkiraan untuk nilainya sendiri, akan meningkatnya bisa sampai berapa?

Begini, nilainya pasti besar lah ya, tapi yang pasti begini, angka satu komoditi saja misalnya, sebut tilapia yang kita mau kembangkan di wilayah Pantura. Tilapia itu targetnya kita ingin memproduksi 4 juta ton. Kalau sampai 4 juta itu gimana? Tidak pernah berpikir kalau dia sudah menjadi skala sebesar itu, berarti menjadi skala industri.

Target berikutnya adalah di proses. Bisa menjadi, hilirisasi pasti otomatis akan masuk. Bisa bikin fishball, bisa bikin fillet, bisa diekstrak menjadi berbagai macam. Sama seperti kayak di Kalimantan Selatan kan ada ikan gabus yang diekstrak, kemudian hasilnya bisa digunakan untuk kepentingan farmasi, tapi dagingnya bisa untuk kepentingan protein konsumsi.

Dengan nilai protein yang sangat tinggi. Lalu kemudian tulang-tulangnya kan bisa menjadi tepung ikan, yang bisa digunakan. Jadi siklusnya terus saling terkait, dan ini yang kita sebut dengan ekonomi biru atau ekonomi yang sustain. Tapi intinya begitu. Jadi soal hilirisasi tidak akan pernah masalah pasti, apabila hulunya kuat. Kalau hulunya kuat, produksinya melimpah, dia mau berubah menjadi satu inovasi apa aja, untuk menciptakan nilai tambah tidak pernah masalah.




(eds/eds)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork