-
Perhelatan sepak bola terbesar Piala Dunia 2018 sudah digelar. Prediksi tentang tim mana yang akan menyabet titel juara mulai bertebaran.
Prediksi-prediksi itu bukan hanya muncul dari pengamat sepak bola, tapi juga dari bank investasi global kenamaan, Goldman Sachs.
Goldman Sachs tak sembarangan membuat prediksi. Mereka melakukan riset dengan hitung-hitungan statistik.
Hasil riset statistik Goldman Sachs mencatat, Brasil memiliki peluang untuk memenangkan Piala Dunia 2018 sebesar 18,5%. Di posisi kedua sebenarnya diisi Perancis 11,3%, baru setelahnya Jerman dengan kemungkinan peluang 10,7%.
Selain itu riset Goldman Sachs juga menjelaskan mengenai kondisi perekonomian terkini dari beberapa negara peserta Piala Dunia. Sebagai contoh Brasil, negara asal pesepak bola Neymar da Silva Santos JΓΊnior, atau beken disapa Neymar ini jauh lebih baik dari 2014 ketika menjadi negara tuan rumah Piala Dunia. Rata-rata inflasi berhasil dikendalikan dalam level rendah, ketidakseimbangan neraca berjalan juga telah diperbaiki.
Namun Brasil masih menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi yakni dalam rentang dua digit. Lalu di kawasan Arab ada Mesir, negara asal pesepak bola Mohamed Salah atau beken disapa Mo Salah.
Mesir menjalankan program konsolidasi fiskal tiga tahun diluncurkan untuk mengurangi defisit anggaran. Kebijakan moneter diperketat untuk membendung laju inflasi dan reformasi dilakukan untuk menjaga iklim dunia usaha.
Upaya itu berhasil. Saat ini defisit neraca berjalan Mesir berkurang bersamaan dengan inflasi. Kepercayaan investor mulai pulih.
Selain itu riset Goldman Sachs juga menjelaskan mengenai kondisi perekonomian terkini dari beberapa negara peserta Piala Dunia. Mau tahu kondisi perekonomian negara-negara peserta Piala Dunia tersebut, baca selengkapnya di sini:
Berkat sepak bola negara-negara dengan ekonomi berkembang menjadi tenar, seperti Brazil misalnya. Negara ini terkenal lantaran sudah menyabet 5 kali juara piala dunia.
Berdasarkan hal itu, kondisi ekonomi sebuah negara tidak menjadi penentu untuk menjuarai Piala Dunia. Bahkan tidak sedikit pemain-pemain sepakbola ternama lahir dari negara-negara berkembang lainnya seperti di wilayah Amerika Latin.
Melansir dari data hasil riset Goldman Sachs, berikut kondisi ekonomi terkini dari negara-negara peserta Piala Dunia 2018 dari benua Amerika.
Brasil Kondisi ekonomi Brasil saat ini jauh lebih baik dari 2014 ketika menjadi negara tuan rumah Piala Dunia. Rata-rata inflasi berhasil dikendalikan dalam level rendah, ketidakseimbangan neraca berjalan juga telah diperbaiki.
Namun Brasil masih menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi yakni dalam rentang dua digit. Pemerintah setempat pun berupaya memulihkan dengan penyesuaian kebijakan fiskal, salah satunya juga untuk mengurangi defisit fiskal dan menstabilkan tingkat utang.
Warga Brasil juga akan melakukan pemilihan umum setelah Piala Dunia selesai, tepatnya pada 7 Oktober 2018. Pemimpin yang baru diharapkan mampu menangani sisa persoalan makro ekonomi hingga mampu menarik masuk investasi asing.
KolombiaSelama beberapa tahun terakhir ekonomi Kolombia terkapar. Defisit transaksi berjalan dan inflasi dalam posisi yang tinggi hingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
Namun kondisi itu sepertinya tidak mengkhawatirkan investor asing untuk tetap mencari aset di Kolombia. Investor asing tumbuh 2 kali lipat sebagai pembeli surat utang pemerintah Kolombia sejak Piala Dunia 2014. Investor asing menyalip dana pensiun lokal yang sebelumnya sebagai pemegang surat utang terbesar.
Baru-baru ini, gambaran makro ekonomi Kolombia telah membaik imbas dari kenaikan harga minyak dan inflasi moderat. Hal itu memungkinkan Bank Sentral setempat untuk melonggarkan kebijakan moneter secara signifikan guna mendukung permintaan domestik.
Meski diharapkan pemulihan ekonomi Kolombia lebih cepat, namun Goldman Sachs memprediksi pertumbuhan ekonominya tahun ini mencapai 2,7%, naik dari tahun sebelumnya 1,8%.
Kosta RikaSumber pertumbuhan ekonomi Kosta Rika cukup terdiversifikasi dengan baik. Dari segi pertanian negara ini memiliki produk unggulan seperti kopi, pisang, nanas dan gula. Selain itu negara ini juga unggul dalam ekowisata, manufaktur dan jasa berorientasi IT.
Kosta Rika adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang tidak memiliki tentara. Hal itu memberikan peluang bagi negara untuk menghabiskan uang lebiha banyak untuk pendidikan
Lebih dari 300 perusahaan global telah mendirikan toko di Kosta Rika, termasuk Intel, Amazon, dan IBM. Kosta
Rica adalah salah satu negara yang paling stabil dan makmur di anatar negara-negara Amerika Tengah.
PDB per kapita mencapai US$ 17.200. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangganya seperti Nikaragua dan Honduras, dengan rata-rata pendapatan per kapita hanya US$ 5.500-5.800.
Pertumbuhan PDB Kosta Rika dari 2010-2017 rata-rata di level 4,1%. Di 2017 pertumbuhan PDB-nya mencapai lebih dari 6%.
Pada bulan Agustus tahun lalu pemerintah Kosta Rika menghadapi sedikit krisis likuiditas untuk memenuhi kewajiban utangnya. Fitch memberikan outlook negatif atas utang Kosta Rika.
MeksikoLatar belakang makroekonomi Meksiko saat ini masih jauh dari kata suram. Meskipun masih ada kendala dari sisi makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi biasa saja, produksi minyak menurun tajam, tingkat bunga tinggi, pembatasan pengeluaran fiskal, masalah hukum hingga korupsi.
Ekonomi Meksiko juga tengah menghadapi permasalah dari sisi eksternal seperti ketidakpastian negosiasi NAFTA, rencana kenaikan suku bunga The Fed dan normalisasi neraca dagang AS.
Terlepas dari tantangan domestik dan eksternal, Goldman Sachsmenilai ekonomi Meksiko masih dikelola dengan baik dan kebijakan pendekatan yang ramah pasar.
PanamaDengan pertumbuhan PDB riil hampir 6% per tahun selama 25 tahun terakhir dan pertumbuhan per kapita hampir 4%, Panama telah muncul sebagai salah satu negara terkaya di Amerika Latin.
Jika 2018 masih tetap tumbuh, maka Panama tercatat sebagai negara yang selalu tumbuh positif dalam kurun waktu 30 tahun. Bahkan melebihi rekor Australia.
Panama mengatasi krisis keuangan global dengan cukup baik. Tingkat pengangguran di bawah 6% sejak 2011, jauh lebih baik ketika tingkat pengangguran Panama mencapai double digit saat 1980-an, 1990-an dan awal 2000-an.
Inflasi meningkat selama tahun-tahun krisis, tetapi tetap di bawah 2% selama beberapa tahun terakhir.
Meskipun populasi kurang dari empat juta, Panama telah
menempatkan diri sebagai pusat layanan komersial di Amerika Latin. Industri jasa utama termasuk logistik, keuangan, registrasi unggulan, perawatan kesehatan, pariwisata dan, tentu saja, transportasi.
PeruPerekonomian Peru mulai pulih setelah terpuruk pada 2017 kemarin yang terimbas dari gangguan cuuaca, hingga skandal korupsi yang berujung pada pengunduran diri Presiden Pedro Pablo Kuczynski.
Pada 23 Maret 2018, wakil presiden pertama MartΓn Vizcarra menggantikannya. Hal itu mengurangi ketidakpastian kondisi politik Peru, sehingga mampu mengembalikan kepercayaan investor asing.
Pada 2017 pertumbuhan ekonomi Peru mencapai 2,5%. Masih jauh dari rata-rata pasca krisi negara-negara Amerika Latin 5,2%.
Namun, pelonggaran moneter besar selama setahun terakhir telah membantu merevitalisasi permintaan domestik dan kenaikan harga logam.
Diprediksi pertumbuhan ekonomi Peru tahun ini mencapai 3,8% lantaran didukung kinerja sektor manufaktur, sektor konstruksi dan perdagangan.
UruguayPerekonomian Uruguay mulai bangkit sejak mengalami krisis pada 2002.Uruguay memperoleh rating investasi 'triple crown' dari tiga lembaga pemeringkat kredit terbesar di 2012.
Uruguay menikmati siklus pemulihan pada 2017, dengan PDB tumbuh sebesar 3,1%. Angka itu naik dari tahun sebelumnya sebesar 1,5% dan 0,4% pada tahun 2015. Diprediski tahun ini PDB Uruguay tumbuh 3% tahun ini.
Argentina
Kondisi ekonomi Argentina tidak sebagus catatan tim sepakbolanya. Ekonomi Argentina terdampak dari sentimen eksternal.
Nilai tukar dolar AS menghantam mata uang Argentina anjlok hingga lebih dari 40% dari awal Desember 2017 hingga akhir Mei 2018.
Pemerintah Argentina memperketat kebijakan fiskal dan meminta bantuan pendanaan dari IMF. Meski membantu menenangkan pasar, namun diyakini tidak mampu menyelesaikan masalah perekonomian yang mendasar.
Maroko
Maroko memang bukan tim yang diunggulkan dalam Piala Dunia 2018. Namun tim ini tak bisa diremehkan lantaran juga memiliki 5 pemain berdarah Belanda.
Dari sisi ekonomi berbandi terbaik. Perkembangan ekonomi Maroko cukup mencolok berkat pertumbuhan sektor manufaktur,
investasi oleh perusahaan Eropa dan Cina lantaran hubungan yang kuat Sub-Sahara Afrika.
PDB riil per kapita telah meningkat 70% sejak 2000. Insentif pajak juga mampu menarik masuknya investor asing,
termasuk perusahaan teknologi tinggi dan negara itu telah menjadi orang Afrika pusat inovasi.
Pariwisata merupakan salah satu industri utama Maroko. Negara ini juga telah menjadi tujuan wisata utama Afrika tahun lalu.
Secara keseluruhan, ekonomi Maroko tumbuh sekitar 4%, defisit anggaran telah turun ke 3,5% dari PDB dan inflasi tetap terkendali di bawah 2%.
Arab Saudi
Arab Saudi sudah 5 kali tampil di Piala Dunia. Dari sisi ekonomi, kondisi Arab Saudi juga tidak begitu buruk.
Pemulihan harga minyak memberikan dorongan terhadap prospek ekonomi Arab Saudi. Ketika harga minyak melonjak antara 2009 dan 2011, pertumbuhan PDB Arab Saudi naik menjadi lebih dari 10% dan surplus transaksi berjalan mencapai lebih dari 20% dari PDB.
Namun, karena harga minyak turun tajam pada 2014 dan 2015, pertumbuhan ekonomi Arab Saudi turun tajam dan neraca perdagangan pun berubah menjadi defisit.
Pemulihan harga minyak secara parsial dalam satu tahun terakhir telah membawa lebih banyak berita positif untuk ekonomi Saudi. Pertumbuhan ekonomi masih menurun, namun neraca perdagang sudah kembali surplus.
Ke depan, pemerintah Arab Saudi sedang berusaha mengurangi ketergantungan ekonomi pada minyak dan diversifikasi ekonomi
melalui implementasi reformasi 'Vision 2030'.
Mesir
Sepakbola Mesir kembali bangkit, setelah salah satu pemainnya Mohamed Salah bersinar di kancah Eropa. Bahkan secara tidak terduga Mesir kembali lolos dalam kualifikasi Piala Dunia, setelah terakhir kali tampil pada 1990.
Harapan besar pun kembali untuk tim Mesir. Meskipun Mo Salah saat ini dalam kondisi cidera punggung, akibat menjalani laga final Liga Champion.
Perekonomian dan persepakbolaan Mesir memiliki siklus yang hampir sama, setelah dalam periode 2011 hingga 2016. Dari sisi ekonomi saat itu terkapar akibat ketidakpastian kondisi politik saat terjadi revolusi.
Sementara dari sepakbola Mesir mengalami permasalah saat terjadi kerusuhan di pertandingan antara klub Al Ahly dan Al Masry pada Februari 2012. Sejak saat itu liga domestik Mesir ditangguhkan selama beberapa tahun. Selama periode itu, tim nasional gagal lolos tiga kali berturut-turut untuk Piala Afrika.
Pertumbuhan ekonomi Mesir juga menurun, penerimaan pariwisata anjlok dan defisit transaksi berjalan yang melebar. Lalu pada November 2016 pihak berwenang Mesir mengambil sejumlah keputusan langkah-langkah untuk mengatasi krisis ekonomi.
Program konsolidasi fiskal tiga tahun diluncurkan untuk mengurangi defisit anggaran. Kebijakan moneter diperketat untuk membendung laju inflasi dan reformasi dilakukan untuk menjaga iklim dunia usaha.
Upaya itu berhasil. Saat ini defisit neraca berjalan Mesir berkurang bersamaan dengan inflasi. Kepercayaan investor mulai pulih.
Namun masih ada risiko bahwa Mesir mungkin menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Kombinasi antara hasil tagihan surat utang jangka pendek dengan nilai tukar mata uang Mesir yang undervalue membuat tagihan pemerintah membengkak.
Iran
Menurut riset Goldman Sachs kondisi Iran mulai bergejolak ketika ketegangan dengan AS kembali mencuat. Pada awal Mei 2018, Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan menarik diri dari kesepakatan nuklir antara Teheran dan negara-negara besar yang ditandatangani pada tahun 2015.
Dampak dari hal itu, pasokan minyak global menjadi tidak jelas. Sebab negara-negara produsen minyak lain kemungkinan besar akan menaikan pasokannya untuk mengimbangi penurunan pasokan minyak di Iran.
Bagi Iran, ketidakpastian jangka pendek ini tentu tidak diinginkan. Mengingat Iran memiliki cadangan minyak besar.
Melalui pendekatan Piala Dunia, Iran mungkin berharap menjadikan sepak bola sebagai alat yang berguna untuk mengurangi ketegangan politik.
Tim Denmark tidak begitu diunggulkan dalam Piala Dunia 2018. Tim yang berjuluk Dinamit itu memiliki rekam jejak yang kurang bagus di kancah internasional.
Seperti tim sepak bolanya, ekonomi Denmark juga menderita sejak 2008 hingga saat ini. Tim Denmark yang berpenampilan buruk dalam periode 2008 hingga 2016 sejalan dengan kinerja pertumbuhan PDB negara yang suram.
Melansir hasil riset Goldman Sachs terkait Piala Dunia 2018, Kamis (14/6/2018), aktivitas ekonomi Denmark turun tajam selama terjadi krisis 2008. Pemulihan ekonomi juga terjadi melambat. PDB kembali ke tingkat sebelum krisis hanya pada akhir 2014.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia lain, ekonomi Denmark jelas berkinerja buruk. Akar penyebabnya adalah menyusutnya harga rumah di Denmark menyusul krisis keuangan.
Harga rumah di Denmark turun hingga 30%. Hal itu mempengaruhi penurunan tingkat konsumsi rumah tangga sekitar 5-6% pada 2008. Level tingkat konsumsi rumah tangga itu pun tak berubah selama separuh dekade.
Meski begitu, tahun lalu ekonomi Denmark tumbuh 2%. Goldman Sachs memprediksi tahun ini akan tumbuh di level yang sama.
Kondisi ekonomi Swedia
Berbeda dengan Denmark, Swedia yang juga tampil di Piala Dunia 2018 kondisi ekonominya membaik. Setelah krisis keuangan global, PDB Swedia tumbuh 6 pada 2010. Padahal saat itu rata-rata pertumbuhan ekonomi di Eropa 3,5% selama 3 tahun.
Sebagai ekonomi yang terbuka, pertumbuhan Swedia sangat bergantung pada Eropa dan global. Namun kondisi dalam negeri Swedia positif dengan konsumsi dan investasi swasta yang terbukti kuat dan membuat lapangan kerja meningkat. Tingkat suku bunga di Swedia juga rendah.
Harga aset di Swedia juga meningkat, termasuk untuk rumah, dan mencapai posisi tertingginya di tahun lalu. Namun kini berbeda kabar bahwa harga rumah di Swedia telah turun 10%.
Namun lantaran imbas dari pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang tinggi, diyakini mampu menahan penurunan harga rumah di Swedia.
Inflasi di Swedia juga cukup rendah dalam beberapa tahun terakhir dengan target tahun lalu 2%. Namun inflasi rendah di luar negeri, memberikan sinyal bahwa inflasi di Swedia kemungkinan akan meningkat secara perlahan.