Prabowo Sebut RI Kini Anut Ekonomi Neolib, Benarkah?

Prabowo Sebut RI Kini Anut Ekonomi Neolib, Benarkah?

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Rabu, 08 Agu 2018 10:07 WIB
Prabowo Sebut RI Kini Anut Ekonomi Neolib, Benarkah?
Foto: Zaki Alfarabi/Infografis
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menjelaskan neoliberalisme adalah istilah yang disematkan pada Washington Consencus.

Dia menyebut hal itu adalah konsensus yang disepakati oleh para ekonom top dunia yng berada di Washington DC yakni ekonom IMF, World Bank dan Kementerian Keuangan AS.

Di sana mereka berdiskusi untuk mencari solusi terhadap krisis ekonomi yang terjadi di Amerika latin terutama Brasil, Meksiko dan Agentina. Krisis terjadi dua kali yakni pada 1984 dan 1992.

"Saat itu mereka membuat formula generik yang diharapkan cocok untuk diterapkan dalam kasus krisis di negara emerging market yang lain. Ada 10 isu yang mereka rekomendasikan yang bisa diperas menjadi tiga pilar yakni Fiscal Austerity, Liberalization dan Privatization of State-owned Enterprises," ujar Tony kepada detikFinance.

Dia menceritakan Neoliberalisme "dicap" ke Indonesia krn pada saat krisis 1998, Indonesia sempat menjual saham BUMN, untuk menambal defisit APBN.

"Namun sekarang kan tidak lagi. BUMN banyak yang sehat dan menyetor dividen. Semua bank BUMN memang menjual sahamnya (hingga 49%), namun itu konteksnya untuk mendorong governance. Supaya bank-bank tersebut kian transparan," tambah dia.

Tony mengungkapkan semua bank swasta top di Indonesia juga melantai di bursa, hal ini agar makin banyak diawasi oleh bursa, analis, dan pasar. Ini adalah langkah yang baik.

Ada juga hal positif dari Washington Consensus ini, yakni dalam hal fiscal austerity, menurut Tony mereka menyarankan agar APBN dikelola secara berhati-hati dan mendorong perbaikan distribusi pendapatan.

Kemudian APBN sebaiknya surplus, namun jika terpaksa harus defisit, maksimal 2% terhadap produk domestik bruto (PDB). Formulasi ini praktis kini dipakai di seluruh dunia, dan sedikit direlaksasi menjadi maksimal defisit 3% thd PDB.

Tony menyampaikan, di Indonesia, kebanyakan orang (termasuk politisi), mengartikan 'neolib' sebagai "liberalisasi tanpa batas dan menjual BUMN.

"Kita memang pernah menjual saham BUMN ketika kepepet krn krisis 1998, namun sekarang tidak lagi. Karena itu, neolib sering dibenturkan dengan nasionalisme atau ekonomi kerakyatan," ujarnya.

Hide Ads