Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk Desi Arryani mengatakan saat ini pihaknya juga tengah melakukan kajian untuk teknologi yang akan dipilih nanti. Ada tiga jenis teknologi multi lane freeflow yang menjadi pilihan di antaranya Radio Frequency Identification (RFID), DSRC (dedicated short-range communication), dan Global Navigation Satellite System (GNSS).
"Jasa Marga apa yang dilakukan, kita membuat sejumlah trial. Kita buat berupa konsep, seperti yang pernah kita lakukan dengan DSRC dan RFID. Kita juga akan segera lakukan RFID di Bali karena Bali itu tolnya single, nggak connect ke mana-mana. Jadi kita lagi melihat itu, dan silakan para regulator juga mengecek, mana yang terbaik dan mana kekurangannya," katanya kepada detikFinance dalam sesi wawancara khusus, Jumat (17/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Benarkah Tol di Zaman Jokowi Kemahalan? |
"Sekali kita pilih, itu kan juga harus bisa connect ke yang lain. BUJT kan sekarang banyak. Jadi tidak boleh Jasa Marga pilih A, tiba-tiba BUJT lain pilih B. Kan nggak connect. Padahal yang namanya jalan tol kan konektivitas. Kalau teknologinya di sini A, di sana B, di situ C, kasihan pengguna jalan. Jadi semua akan diselaraskan," ujar dia.
RFID sendiri merupakan stiker yang dilengkapi dengan teknologi Radio Frequency Identification. Penggunaannya cukup menempelkan stiker RFID pada bagian depan mobil, kemudian stiker akan memancarkan sinyal radio yang akan diterima alat pembaca sinyal yang sudah dipasang di masing-masing gerbang tol.
Baca juga: Jasa Marga Mau Kelola Seluruh Tol Trans Jawa |
Stiker RFID memiliki keunggulan dengan harganya yang tak terlalu mahal. Pengguna jalan hanya dibebankan lewat pembelian stiker yang harganya berkisar US$ 1-US$ 2.
Sementara DSRC merupakan teknologi komunikasi jarak pendek yang menggunakan semacam alat pembaca sinyal, tapi juga bisa menggambarkan kepadatan tol di satu bagian tertentu.
DSRC memiliki harga jual yang lebih tinggi, yakni sekitar US$ 20 atau Rp 260 ribu. Harga jual yang lebih tinggi tersebut lantaran fungsinya yang lebih banyak.
Sedangkan GNSS merupakan sistem pembayaran yang menggunakan alat yang dipasang di mobil dan dibaca lewat satelit. Penerapan jalan berbayar ini tanpa perlu memasang infrastruktur, seperti gantry atau juga gerbang tol yang rumit namun memerlukan biaya investasi yang cukup tinggi, baik pada badan usaha maupun pengguna.
"Masing-masing (teknologi) ada lebih dan kurangnya. Ada yang lebih aman tapi lebih mahal. Ada yang lebih murah tapi kok kayaknya lebih bahaya juga. Jadi plus dan minus. Khawatirnya kan yang namanya teknologi juga kontinuitasnya musti terjaga. Jangan sampai sekarang bermanfaat, nanti-nanti nggak bisa. Itu yang harus dipikirkan," jelas Desi. (eds/hns)