"Jadi yang kita bahas itu masalah apa sih? Kalau saya mau tanya ya, artinya di dalam mengelola seluruh perekonomian masing-masing entitas kan punya tanggung jawab," kata Sri Mulyani.
Dia bilang, jika bicara mengenai total utang Indonesia yang hampir Rp 9.000 triliun, maka harus dilihat dari sisi perbandingannya yang tepat. Jelasnya, utang Rp 9.000 triliun mestinya dibandingkan dengan ukuran ekonomi Indonesia.
"Kalau bicara sekarang PDB mencapai hampir Rp 15.000 triliun berarti bisa dilihat rasionya Rp 9.000 triliun terhadap Rp 15.000 triliun kan seperti itu. Jadi kalau bandingkan apel dengan apel, karena sering kan ngomongin Rp 9.000 triliun terus kemudian datangnya pemerintah seperti gimana? Dari dulu pemerintah kan mengelola APBN," ungkap dia.
Tugas Kementerian Keuangan adalah mengelola utang pemerintah yang per Mei 2018 mencapai Rp 4.169,09 triliun. Menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia angka tersebut masih aman lantaran rasionya di bawah 29% terhadap PDB.
"Jadi kalau membahas ya konsisten saja. Kalau utang korporasi ya dia dibandingkan volume korporasi. Kalau BUMN dibandingkan total aset dan revenue-nya. Utang rumah tangga ya terhadap rumah tangga," jelas dia.
Sri Mulyani menuturkan, pemerintah mengelola utang secara hati-hati serta mengikuti indikator kesehatan keuangan mengikuti ketentuan perundang-undangan. Selain itu, dia juga mengatakan tingkat kerentanan utang Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Malaysia dan India.
"Kalau tadi disampaikan pandangan Moody's mereka katakan kita peringkat ketiga. Tapi kalau dibandingkan dengan dua ranking di atasnya yaitu Malaysia dan India, Indonesia kan 54% jauh lebih rendah," katanya.
Berdasarkan data Moody's Investors Service, posisi external vulnerability index atau indeks kerentanan eksternal Indonesia sebesar 51%. Posisi pertama ada India dengan 74%.
"Kalau kita bandingkan yang disebut ketergantungan Indonesia terhadap luar negeri dari sisi pembeli SUN kita, sudah kami sampaikan di sekitar 37%. Kalau mau interpretasi yang disebut positif, kita dipercaya karena demand-nya tinggi, ada yang mau membeli. Kalau dari sisi negatif, kalau dia nggak percaya Indonesia dia bisa pergi," jelas Sri Mulyani.