Awal Maret ini industri ritel ramai-ramai menerapkan kebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). Hal tersebut dilakukan guna menekan penggunaan plastik.
Menanggapi kebijakan tersebut Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menilai kebijakan tersebut memang akan membuat penggunaan kantong plastik tertekan.
Menurutnya, dengan tertekannya penggunaan kantong plastik justru bisa merusak siklus ekonomi plastik daur ulang Indonesia. Di lain pihak, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun menyayangkan kebijakan penekanan kantung plastik ini.
Fajar mengeluhkan apabila semakin banyak kebijakan menekan harga plastik justru akan membuat siklus plastik daur ulang Indonesia terganggu.
"Tas kresek ini kan 80% produk recycle. Jadi kalau ini dilarang siklus ekonomi plastik recycle Indonesia malah rusak," ungkap Fajar kepada detikFinance, Senin (4/3/2019).
Menurutnya ada banyak pihak yang ikut terlibat dalam siklus plastik daur ulang, mulai dari pemulung hingga industri apabila kantung plastik terus ditekan maka akan banyak pihak yang terkena imbasnya.
"Pemulung kita kan banyak ambil sampah plastiknya, industri recyclenya kita juga banyak. Kalau penggunaan kantong plastik ditekan terus ya bisa-bisa bangkrut pelan pelan," ungkap Fajar.
Fajar menilai dengan matinya siklus ekonomi plastik berbayar maka sampah plastik bisa-bisa tidak ada yang mengolah. "Nanti sampahnya (plastik) nggak ada yang kelola lagi," tuturnya.
Kemenperin juga menyayangkan kebijakan kantong plastik berbayar yang dilakukan sejumlah ritel di Indonesia. Hal tersebut dinilai dapat mengganggu keberlangsungan industri plastik.
Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin Taufik Bawazier menilai hal tersebut dapat membuat permintaan plastik akan menurun pelan-pelan.
"Kosakata berbayar pasti push price. Dengan demikian transfer beban pasti ke konsumen (masyarakat) dan dalam volume besar tentunya mengurangi daya saing industri plastik dan hukum ekonomi bekerja, demand kantong plastik akan menurun," ungkap Taufik.
Menurut Taufik dengan berkurangnya permintaan kantong plastik otomatis akan mempengaruhi industri plastik. "Hal ini tentu sangat disayangkan jika tujuan tujuan pengenaan biaya untuk alasan mengurangi sampah plastik," tambahnya.
Fajar mempertanyakan apakah industri ritel mau mengambil keuntungan dari kantong plastik tersebut dengan menjadikannya sebagai barang dagangan.
"Nah berarti tujuannya bukan kurangi plastik mereka, tapi mau ikutan jualan plastik? lni mau nyari duit dari masalah ini kan. Kalau sekarang jadi barang dagang ini justru bukan kurangi plastik, tapi ikutan jualan plastik," tegasnya.
Fajar sendiri menilai, harga yang ditentukan oleh Aprindo memang tidak banyak, terlebih lagi melihat jangkauan konsumen ritel moderen yang memang menengah ke atas. Namun, dia mempermasalahkan kemana perginya uang yang ditagih ke konsumen.
"Dari konsumen sendiri ritel modern kan menengah atas ya, Rp 200-Rp 500 bukan masalah lah ya. Cuma kan duitnya ini kemana?" ungkap Fajar.
Lebih jauh Fajar mengungkit bahwa plastik berbayar memang sudah ada sejak 2016, saat itu peritel yang menjalankan kebijakan tersebut akan melakukan pengelolaan plastik dengan dana yang dihimpun dari plastik berbayar. Namun menurut Fajar hingga kini belum ada buktinya pengelolaan tersebut dilakukan.
"2016 kemarin aja kan plastik berbayar katanya mau buat pengelolaan plastik tapi mana buktinya? Itu pun belum audit lagi lho," ungkap Fajar.
Menurut Fajar justru harusnya bukan membuat kebijakan yang menekan, mengurangi, ataupun melarang penggunaan kantung plastik. Namun, harusnya semua elemen berfikir bagaimana manajemen yang baik untuk mengolah sampah plastik.
"Karena memang bukan melarang menekan atau mengurangi, tapi bagaimana me-manage sampahnya? Dari kumpul angkut buang, jadi pilah proses angkut jual," ungkap Fajar.
Dia menambahkan, dengan melakukan manajemen yang baik, sampah pun bisa bertambah nilainya. "Intinya gini, harusnya kita cari cara manajemen sampahnya, kan bisa menambahkan nilai sampahnya juga," tambahnya.
Kemenperin pun menyarankan untuk mengganti segala upaya yang kontra dengan pertumbuhan industri plastik. Karena sebetulnya upaya tersebut justru tidak efektif.
"Saran saya, upaya upaya kontraproduktif seperti larangan plastik, plastik berbayar, cukai, dan lain-lain seharusnya diganti," ungkap Taufik.
Lebih lanjut menurutnya apabila ingin memaksimalkan pengurangan sampah plastik harusnya upaya yang dilakukan adalah dengan menggenjot pengelolaan sampah plastik bukan dengan menekan penggunaannya.
"(Diganti) Dengan upaya upaya pengelolaan sampah plastik yang baik. Sehingga tujuan pengurangan sampah plastik dapat dicapai tanpa mengganggu industri plastik," ungkap Taufik.
Kemenperin menyatakan kebijakan KPTG dengan tujuan menekan penggunaan plastik bisa mengurangi pendapatan negara dari industri plastik.
Taufik mengatakan pada 2018 saja plastik dan karet telah berkontribusi sebanyak Rp 92,7 triliun untuk Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut tumbuh 6,29% dari tahun sebelumnya.
"Terkait biaya dan lain-lain dan beban plastik harus dilihat secara utuh. PDB plastik dan karet menyumbang 92,7 triliun dan tumbuh 6,92% di tahun 2018," ungkap Taufik.
Dengan potensi tersebut, menurut Taufik sangat sayang apabila industri plastik justru diganggu dengan keputusan yang tidak sejalan dengan perkembangannya.
Dengan adanya kebijakan KPTG yang menekan pemakaian plastik maka hal tersebut pun dapat mengganggu pemasukan negara dari komoditas plastik.
"Jika industri (plastik) diganggu dengan keputusan keputusan yang tidak inline dengan kemajuan industri, maka tentu upaya meningkatkan PDB dan pajak dari sektor plastik juga akan terganggu," ungkap Taufik.