Fajar mempertanyakan apakah industri ritel mau mengambil keuntungan dari kantong plastik tersebut dengan menjadikannya sebagai barang dagangan.
"Nah berarti tujuannya bukan kurangi plastik mereka, tapi mau ikutan jualan plastik? lni mau nyari duit dari masalah ini kan. Kalau sekarang jadi barang dagang ini justru bukan kurangi plastik, tapi ikutan jualan plastik," tegasnya.
Fajar sendiri menilai, harga yang ditentukan oleh Aprindo memang tidak banyak, terlebih lagi melihat jangkauan konsumen ritel moderen yang memang menengah ke atas. Namun, dia mempermasalahkan kemana perginya uang yang ditagih ke konsumen.
"Dari konsumen sendiri ritel modern kan menengah atas ya, Rp 200-Rp 500 bukan masalah lah ya. Cuma kan duitnya ini kemana?" ungkap Fajar.
Lebih jauh Fajar mengungkit bahwa plastik berbayar memang sudah ada sejak 2016, saat itu peritel yang menjalankan kebijakan tersebut akan melakukan pengelolaan plastik dengan dana yang dihimpun dari plastik berbayar. Namun menurut Fajar hingga kini belum ada buktinya pengelolaan tersebut dilakukan.
"2016 kemarin aja kan plastik berbayar katanya mau buat pengelolaan plastik tapi mana buktinya? Itu pun belum audit lagi lho," ungkap Fajar.