"Apa yang terjadi dengan suku bunga, saya memprediksi dalam waktu yang tidak terlalu lama, bisa bulan ini, bisa nunggu hasil pemilu certain, maka Bank Indonesia pasti akan mulai menurunkan suku bunganya," ujar pria yang akrab disapa CT itu.
Bukan tanpa alasan, Chairul menjelaskan, Amerika Serikat (AS) diprediksi tidak akan menaikkan suku bunga. Sebab, kebijakan Bank Sentral AS merupakan tolak ukur (benchmark) kebijakan BI.
Apalagi, tambahnya, BI sudah menaikkan suku bunga sampai 175 basis poin dari April 2018. Dia memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga secara bertahap.
"Itulah kira-kira terkait dengan prediksi perekonomian versi CT," ujarnya.
Dalam kesempatan itu CT juga bercerita belum lama ini bertemu dengan Mantan Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen. Dalam pertemuannya itu, ia sempat bertanya terkait dengan kondisi AS di mana banyak spekulasi akan terjadinya resesi. Lantaran, yield jangka pendek lebih tinggi dibanding jangka panjang.
Menurut Yellen, kata CT, AS tidak akan terjadi resesi dalam waktu dekat. Sebab, pertumbuhan konsumsi sebagai motor ekonomi AS masih tinggi. Akibatnya, ekonomi AS dan dolar masih akan menguat.
"Kesimpulannya ekonomi AS masih akan strong dan akibatnya dolar AS juga masih akan kuat. Namun, diperkirakan tahun ini Amerika tidak menaikkan suku bunganya, kalaupun menaikkan terjadi pada kurun akhir tahun dan hanya satu kali lagi," jelasnya.
Sebagai informasi, BI tetap mempertahankan bunga acuan atau 7 days reverse repo rate 6%. Selain itu suku bunga deposit facility 5,25% dan lending facility 6,75%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan indikator kondisi global yang lebih ramah bagi prospek aliran modal masuk asing. Selain itu, BI melihat Fed Fund Rate (FFR) diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga pada tahun dan tahun depan.
"FFR tidak jadi naik, tapi ekonomi global menurun sehingga kita perlu mendorong ekspor," ujar Perry.