Jakarta -
Iran belum lama ini menembak pesawat drone Amerika Serikat (AS), RQ-4A Global Hawk seharga US$ 110 juta atau setara Rp 1,5 triliun (kurs Rp 14.000) yang melintas di wilayahnya pada Kamis lalu, 20 Juni 2019.
Ketegangan antara Iran dan AS ini menyebabkan maskapai internasional harus mengubah rute penerbangannya menjadi lebih jauh dan lama, serta memakan biaya yang jauh lebih besar.
Simak berita selengkapnya di sini.
Semenjak Iran meluncurkan misilnya itu, Federal Aviation Administration atau Administrasi Penerbangan Federal AS melarang maskapai AS untuk terbang di wilayah Teluk Oman dan Teluk Persia. Dilansir dari CNN Business, Minggu (23/6/2019), United Airlines membatalkan penerbangan ke India dan Newark hingga 1 September.
Menanggapi hal tersebut, Qantas, Britis Airways, KLM and Lufthansa juga akan mengambil langkah yang sama. Mereka akan mengubah rute menuju Dubai, Doha, dan Abu Dhabi serta pesawat-pesawat yang transit di kawasan tersebut untuk menuju benua Asia atau pun dari Asia.
Tak hanya maskapai barat, maskapai internasional Timur Tengah seperti Emirates, Etihad, dan Qatar Airways juga akan menghindari kawasan-kawasan yang berpotensi konflik. Emirates menyatakan antisipasinya tersebut pada Jumat, (21/6/2019).
Kemudian, Etihad menyatakan bahwa hal ini menjadi keputusan penting demi keselamatan penumpang maupun maskapai. Sejumlah penerbangan dari dan menuju Teluk Arab akan dibatasi.
Dengan menghindari langit Iran, tentunya akan menghabiskan waktu dan biaya. Karena, bagi maskapai komersil dan maskapai logistik, pembatasan penerbangan ini artinya pesawat harus mengambil jalur memutar yang akan menghabiskan waktu dan uang.
Dalam setahun, maskapai internasional bisa menghabiskan biaya US$ 180 miliar. Artinya, jika menambah durasi terbang hingga setengah jam akan menghabiskan miliaran dolar lagi. Padahal, ancaman keamanan dari Timur Tengah ini munculnya tak dapat dipastikan.
Menurut Mark Zee, pendiri OpsGroup, organisasi yang memantau wilayah penerbangan udara mengatakan, Timur Tengah selalu menjadi kawasan kompleks untuk maskapai penerbangan. Terutama selama 6 bulan terakhir ini.
"Tak peduli ke arah mana kamu berbelok, rute penerbangan telah terputus," kata Mark Zee.
Pesawat drone AS yang ditembak AS tersebut harganya mencapai US$ 110 juta atau setara Rp 1,5 triliun (kurs Rp 14.000).
Demikian dilansir CNN seperti dikutip detikFInance Minggu (23/6/2019). Global Hawk adalah pesawat tanpa awak milik AS yang selama ini bertugas untuk mengintai dan mengawasi, serta memberikan informasi dalam misi intelejen AS di atas wilayah laut dan pesisir yang luas.
Salah satu tim pengembang yang tak disebutkan namanya dari Northrop Grumman, kontraktor sistem keamanan nasional AS mengatakan, sejak diluncurkan pada tahun 2001, seluruh unit Global Hawk telah memberikan kontribusi di udara selama 250.000 jam untuk membantu misi AS di Irak, Afganistan, Afrika Utara, dan negara-negara Asia-Pasifik lainnya.
Dalam satu misi, Global Hawk dapat memberikan informasi dari hasil intaiannya secara langsung atau real-time dari jarak lebih dari 103,5 ribu kilometer persegi. Global Hawk juga dapat terbang di cuaca buruk selama lebih dari 24 jam dalam satu misinya.
Halaman Selanjutnya
Halaman