Bagaimana nasib garam produksi dalam negeri?
Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara, industri pengguna garam tak ada masalah menggunakan garam produksi RI apabila memenuhi klasifikasi garam industri yang dibutuhkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Sudah 1,5 Juta Ton Garam Impor Banjiri RI |
Perlu diketahui, kriteria garam yang dapat digunakan untuk industri yakni kadarnya NaCl-nya di atas 97%, dan kadar airnya kurang dari 0,5%. Sedangkan garam rakyat kadar NaCl-nya kurang dari 94%, dan kadar airnya sekitar 5%.
"Garam industri itu NaCl di atas 97%, kadar air maksimum 0,5%, belum nanti magnesiumnya. Kalau garam lokal masih tinggi kadar airnya, di atas 1%," jelas Cucu.
Namun, Cucu menurutkan kembali lagi ke masalah harga. Garam produksi petani dalam negeri harus bisa bersaing. Menurutnya, garam impor berpotensi mematok harga yang lebih rendah. Begitu pun dengan makanan dan minuman yang akan berpotensi harganya meningkat dengan biaya produksi yang meningkat jika harga bahan baku lebih mahal.
"Daya saing industri kita bilangnya. Sekarang mereka orang-orang luar, China, masuk ke sini, bahkan makanan dan minuman juga banyak impor. Kita akan kalah, jadi negara importir," imbuh dia.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka Cucu menyarankan produksi garam Indonesia bisa dilakukan dengan cara industri atau skala lebih besar, tidak hanya dikelola rakyat. Pasalnya, dengan lahan produksi garam 26.000 hektare (Ha), hasil penyerapannya masih minim.
"Harus industri. Luas lahannya, kan kita mah dikelola oleh rakyat. Oleh istilah petani padat karya, tradisional, lahannya kecil. Yang lahannya 26.000 hektar bukan hasil garamnya, dari saluran semua, peta garamnya berapa. Jadi kalau mau tentunya harus industri, kalau mau ya," pungkasnya.
(dna/dna)