Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memberikan sanksi untuk Pemda yang mengendapkan dana daerah di rekening kas umum daerah (RKUD). Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti menuturkan, Kemenkeu akan memotong alokasi dana daerah bagi Pemda yang menunda penyaluran dana tersebut.
Namun, pemotongan alokasi tersebut akan ditujukan pada Pemda yang tak melaksanakan pengeluaran wajib atau mandatory spending dari dana yang ditransfer pemerintah pusat. Misalnya, daerah yang menunda mandatory spending dari program DAU, maka DAU untuk tahun anggaran selanjutnya akan dipotong.
"Sanksi tentu ada karena ini pasti ada pengaruhnya ke mandatory spending. Kalau daerah tidak comply dengan mandatory spending, maka dipotong DAU-nya atau dalam artian penundaan," jelas Prima di kantornya, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, bagaimana cara pemerintah memberikan sanksi tersebut? Alokasi dana daerah bisa dipotong jika tak disalurkan.
Pemerintah pusat akan menunda pencairan DAU pada daerah yang menunda mandatory spending. Ia mencontohkan pembangunan infrastruktur. Jika daerah tersebut pada akhirnya tak menyelesaikan pembangunan infrastruktur tersebut, maka setelah penundaan, di tahun anggaran berikutnya DAU daerah tersebut akan dipotong.
Namun, jika setelah penundaan daerah tersebut mampu menyelesaikan pembangunan infrastruktur, maka dana yang ditunda akan dicairkan kembali, dan di tahun anggaran berikutnya DAU tak akan dipotong.
"Potong dulu baru disalurkan setelah penuhi kewajibannya. Kita dorong supaya daerah tidak mengendapkan dana," tutur Prima.
Sebagai informasi, dana daerah sendiri terdiri atas beberapa alokasi. Dana daerah terdiri dari terdiri dari dana perimbangan yaitu dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), kemudian dana insentif daerah, serta dana otonomi khusus dan keistimewaan.
Per November 2019, Kemenkeu mencatatkan ada Rp 186 triliun dana daerah yang mengendap di RKUD. Padahal, jika dana tersebut digunakan tentunya akan memberikan manfaat bagi daerah.
Ada apa sebenarnya motif di balik pengendapan dana daerah?
'Motif' Pengendapan Dana DaerahDirektur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti menjelaskan, pada umumnya daerah yang mengendapkan dana daerah dalam RKUD adalah daerah yang memiliki pemasukan besar.
Ia memaparkan, daerah yang pendapatannya besar biasanya memiliki jumlah daerah tingkat II lebih banyak. Sehingga, penerimaan pajaknya lebih besar. Sehingga, dengan penerimaan pajak yang sudah banyak, transfer dana daerah pun lebih kecil pemakaiannya.
"Biasanya daerah yang punya bawahannya banyak. Kalau daerah tingkat I itu punya daerah tingkat II lebih banyak, itu pasti punya kapasitas fiskal lebih," jelas dia.
Penyebab lainnya yakni penggunaan dana daerah di akhir program. Dalam hal ini ia mencontohkan, suatu daerah bisa saja menggunakan dana daerah usai program atau proyek tersebut jadi.
"Ada juga yang motifnya bayar di belakang saja, uangnya disimpan dulu karena dianggap uang sendiri," paparnya.
Padahal, Kemenkeu menggelontorkan dana daerah untuk disalurkan sesuai waktu yang ditentukan agar pelayanan publik di daerah tersebut tak terganggu. Ketika suatu daerah menggunakan dana transfer daerah di awal proyek, maka tentunya dana lain seperti dana pelayanan publik tak terganggu.
Ia menegaskan, sejauh ini tak ada motif memanfaatkan bunga dalam RKUD ketika daerah tersebut mengendapkan dana transfer daerah. Pasalnya, untuk memanfaatkan bunga pun nominalnya tak besar.
"Kalau bunga otomatis, kalau mengendap dia dapat bunga. Kalau kita lihat sekarang untuk mencari keuntungan bunga hampir tidak ada. Karena bunga kecil sekali dan biasanya niat untuk melakukan spending secepat-cepatnya itu tinggi. Tapi masalahnya tinggal kemampuan bisa tidak melakukan ini dengan cepat," ucap Prima.
Sri Mulyani Bakal Perketat Penyaluran Dana DesaPeraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 205 tahun 2019 telah diberlakukan. Melalui aturan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengubah skema penyaluran dana desa danpencairannya pun memiliki sederet persyaratan.
Selain dua skema baru tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga akan memperketat penyaluran demi menghindari penyalahgunaan dana desa, seperti kasus 56 desa fiktif di Konawe, Sulawesi Tenggara.
Pertama, penggunaan dana desa oleh Kepala Daerah akan diawasi melalui aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM-SPAN). Dalam pengawasan ini, Kemenkeu juga berkoordinasi dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Dari segi penyaluran sekarang menggunakan OMSPAN untuk melihat persyaratan-persyaratan yang ada," kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti di kantornya, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Pemerintah daerah juga disyaratkan menggunakan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) sehingga Kemenkeu dan BPKP dapat melihat penyaluran dana desa terhadap program-program di desa tersebut.
"Di samping itu kita juga ada sistem keuangan desa yang dibangun BPKP, ini telah disinergikan dengan OM-SPAN. Ini untuk melihat bagaimana pola pembelanjaan dana desa yang dilakukan oleh daerah, bisa langsung kelihatan dengan sistem itu," jelas pria yang akrab disapa Prima tersebut.
Kemenkeu pun akan memaksimalkan kinerja Whistleblowing System sebagai wadah yang menerima laporan-laporan penyelewengan dalam hal ini yang dilakukan di desa.