Mata uang Pound Inggris juga tertekan lebih dari 8% sejak awal tahun menjadi kurang dari US$ 1,22 dan juga jatuh lebih dari 5% terhadap mata uang Euro.
Indeks saham FTSE 100 (UKX) di London juga kehilangan lebih dari 21% (Year to Date/YTD) dibandingkan dengan hampir 9% untuk S&P 500, sedangkan saham FTSE 250 perusahaan menengah Inggris turun lebih dari 26%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyiasati keterpurukan tersebut, sejumlah kebijakan pun telah diambil pemerintah Inggris. Inggris sampai rela berutang hingga US$ 75,7 miliar pada April lalu. Jumlah itu adalah level tertinggi sejak 1993 lalu. Pemerintah Inggris bahkan berencana mengajukan pinjaman lagi sebesar US$ 363,3 miliar hingga Maret 2021 mendatang, hampir dua kali lipat dari catatan pinjaman setelah puncak krisis keuangan global lalu.
Gubernur Bank of England Andrew Bailey bahkan mengisyaratkan bahwa suku bunga resmi saat ini bisa menjadi negatif 0,1% untuk pertama kalinya dalam sejarah Inggris.
Kondisi-kondisi tersebut diramal membuat ekonomi Inggris sulit untuk pulih. Lantaran Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah berkomitmen membuat Inggris tetap keluar dari Uni Eropa. Padahal Uni Eropa memberi perpanjangan tenggat waktu hingga 30 Juni mendatang agar Inggris tetap menjadi bagian Benua Biru tersebut.
"Brexit akan semakin memperumit masalah," ujar Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar.
(fdl/fdl)