Menelisik 'Mesranya' Hubungan Dagang China-Indonesia

Menelisik 'Mesranya' Hubungan Dagang China-Indonesia

Danang Sugianto - detikFinance
Kamis, 25 Jun 2020 05:30 WIB
Ilustrasi bendera China/ebcitizen.com
Foto: Internet/ebcitizen.com
Jakarta -

Indonesia memiliki hubungan yang baik dalam urusan perdagangan dengan China. Banyak produk Indonesia yang ternyata cukup digemari di China.

Hal itu diungkapkan Duta Besar RI untuk RRC Djauhari Oratmangun dalam wawancara Blak-blakan dengan detikcom. Dia menjelaskan pada 2019 sendiri volume perdagangan Indonesia dengan China meningkat hingga mencapai US$ 78 miliar.

Kondisi positif itu pun ternyata masih berlanjut di kuartal I-2020. Sebab untuk pertama kalinya perdagangan Indonesia dengan China surplus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menariknya di kuartal pertama itu untuk pertama kali perdagangan kita dengan China kita surplus. Jadi nilainya itu lumayan," ujarnya.

Pada periode Januari-April 2020 total nilai perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$ 24,1 miliar. Angka itu memang turun tipis dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu, tapi perdagangan Indonesia surplus US$ 1,3 miliar dengan China.

ADVERTISEMENT

"Kita itu ekspornya US$ 12,7 miliar. Jadi kita dibandingkan dengan mereka kita ada surplus US$ 1,3 miliar, jadi pertama kalinya kita ada surplus," tuturnya.

Dari surplusnya perdagangan Indonesia dengan China itu, sektor perdagangan yang paling menonjol adalah produk-produk makanan. Di antaranya ada produk sarang burung walet, kerupuk udang dan produk makanan serta buah-buahan lainnya. Meskipun produk ekspor Indonesia ke China masih paling besar komoditas mineral batu bara dan kelapa sawit.


Menurut Djauhari, untuk sarang burung walet di China bisa begitu laris lantaran makanan tersebut dipercaya sebagai makanan para kaisar. Selain itu sarang burung walet juga dijuluki sebagai caviar dari timur lantaran harganya yang sangat mahal.

"Kenapa mahal, menurut profesor-profesor yang melakukan riset itu memang mengandung kolagen. Khasiatnya kan untuk kesehatan kulit dan lain-lain, jadi penggemar burung walet itu 75% wanita dan dari situ lebih dari 75% itu wanita yang sedang hamil. Produk itu dipercaya dan sesuai penelitian juga itu akan meningkatkan daya tahan tubuh dan tingkat intelektualitas dari janin yang dikandung," terangnya.

Djauhari mengaku saat dia pertama kali bertugas di China hanya ada 4 eksportir sarang burung walet Indonesia yang memiliki izin. Sisanya banyak yang melakukan perdagangan secara ilegal.

Untuk saat ini jumlah eksportir legalnya semakin bertambah. Dia mencatat ada 21 eksportir sarang burung walet Indonesia yang berizin, lalu ada 3 eksportir yang dalam waktu dekat akan mendapatkan izin.

"Jadi lumayan sudah 24 eksportir sekarang. Jadi kita itu sudah kuasai pasar sarang burung walet China sekarang sudah 74%," tuturnya.

Untuk produk kerupuk udang ternyata ada orang Indonesia yang tinggal di China. Dia kemudian mengirim kerupuk udang dari Indonesia yang kemudian dijual di China.

Produknya bisa laris lantaran dijual melalui platform digital. Untuk mendorong penjualan, dia juga menggunakan jasa influencer. Hasilnya belasan miliar rupiah dia kantongi dalam waktu singkat.

"Dia jual pakai influencer dan di sana influencer muncul paling lama 6 menit. Nah waktu dia muncul 6 menit pertama itu terjual 5 kontainer. Kemudian beberapa hari kemudian dia muncul lagi pakai influencer yang sama telah terjual itu 6 kontainer nah. Kemudian percobaan yang ketiga itu 4 menit sudah 8 kontainer. Nah, total nilai rupiah dari yang dijual itu di atas Rp 12 miliar. Keunikan produk ini di packaging-nya," terangnya.

Tapi ternyata hubungan mesra itu tidak menjamin Indonesia di urutan pertama sebagai mitra dagang di China. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia masih kalah dengan Malaysia dalam hal hubungan dagang dengan China.

"Waktu baru masuk di Beijing itu saya bedah eksportnya Indonesia dan Malaysia, saya penasaran kok Malaysia bisa jauh lebih tinggi dari kita. Padahal kita statusnya kan komprehensif strategic partnership itu bahasa diplomasinya, tapi kalau bahasa keseharian dulu kita teman sekarang jadi sahabat. Mestinya kan perlakuan lebih istimewa kira-kira begitu," tuturnya.

Djauhari menjelaskan Malaysia lebih unggul dari Indonesia karena mampu mengekspor elektronik yang nilainya mencapai US$ 30 miliar. Sementara Indonesia ekspor elektronik ke China hanya US$ 3 miliar.

Dari sektor produk tersebut ternyata yang paling besar komponen elektronik, seperti baterai untuk kendaraan listrik. Nilai ekspor komponen elektronik Malaysia ke China mencapai sekitar US$ 27-28 miliar.

"Bingung saya, kan yang punya nikel kita, kok kita hanya US$ 3 miliar," tuturnya.

Itu lah mengapa Indonesia saat ini begitu terbuka untuk investasi komponen elektronik seperti baterai kendaraan listrik. Jika pabrik-pabrik yang sudah disiapkan beroperasi dia yakin RI bisa menyalip Malaysia.



Simak Video "Video: Gaya Prabowo Tiba di GBK, Nonton Langsung Indonesia Vs China"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads