Selain buruh, Bhima mengungkapkan petani juga akan dirugikan. Dia menyebutkan di dalam Omnibus Law Cipta Kerja ada klausul impor pangan yang disamakan dengan produksi pangan. Hal ini dinilai membuat impor pangan lebih mudah dilakukan daripada menyerap produksi pangan petani lokal.
"Gelombang penolakan pasti terjadi dan bukan hanya buruh tapi juga elemen lain yang merasa dirugikan haknya. Mulai dari petani karena ada klausul impor pangan disamakan dengan produksi pangan dan cadangan nasional," kata Bhima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, ada juga soal izin lahan yang bisa merugikan masyarakat adat. "Sampai masyarakat adat yang merasa dirugikan dalam persoalan izin lahan," ungkapnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pembahasan Omnibus Law sangat terburu-buru. Dia menilai DPR dan pemerintah juga tidak terbuka untuk menampung aspirasi masyarakat luas.
"Pertentangan pasti akan terjadi apabila kesepakatan belum ada pada poin substansi dari semua pihak. Kalai saya lihat ini banyak aspirasi yang belum diakomodasi, maka wajar ini jadi pertentangan," ungkap Faisal.
"Saya rasa ini (Omnibus Law) terlalu diburu-buru dan tergesa-gesa, sehingga banyak yang tidak diakomodir," lanjutnya.
Faisal juga menilai, Omnibus Law Cipta Kerja saat ini hanya mementingkan kepentingan pengusaha dan dunia bisnis.
"Kalau saya lihat dari luar banyak pertentangan, saya rasa mungkin bisa jadi lebih banyak aspirasi pengusaha saja yang diakomodir dibanding pihak lain," kata Faisal.
(fdl/fdl)