Batas Nilai Utang
Wakil Ketua Umum DPP REI bidang Regulasi dan Perundang-undangan, Ignesjz Kemalawarta mengungkapkan berdasarkan data yang dimiliki tiga alasan pailit terhadap pengembang yakni menyangkut serahterima unit (57,14%), utang piutang (35,72%) dan penyerahan SHM Sarusun (7,14%).
"Padahal utang piutang dalam sebuah hubungan usaha merupakan hal wajar. Dan meski pun pengembang ada utang dengan salah satu pihak di salah satu proyek properti misalnya apakah itu perbankan, supplier atau kontraktor, kan tidak berkaitan dengan pembeli produk properti lainnya," ujar Ignesjz.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara dalam kasus kontra prestasi penjualan properti seperti masalah keterlambatan serah terima unit, seharusnya tidak serta-merta didefenisikan sebagai utang.
Menurut Ignesjz, gugatan kepailitan yang bisa dilakukan oleh hanya dua orang dalam konteks yang sifatnya cukup luas dinilai REI terlalu mudah dan kurang tepat. Padahal dampak dari pemberitaan akibat gugatan kepailitan itu sangat berat, karena dapat menghancurkan reputasi dan citra developer dalam sekejap. Sementara belum tentu nantinya perusahaan properti itu benar-benar diputuskan pailit.
"Kami mengusulkan adanya pra-sidang sebelum gugatan kepailitan dan PKPU diajukan ke pengadilan niaga, sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap perusahaan maupun pihak lain yang dapat dirugikan termasuk pembeli," ujar dia.
Keberatan lain adalah tidak adanya batas nilai utang dan solvency test sehingga sering disalahgunakan dalam persaingan yang tidak sehat. Tidak adanya batas nilai membuat ketidakseimbangan tuntutan pailit meski nilainya kecil dan tidak sebanding terhadap nilai aset properti yang ratusan kali lipat jumlahnya.
Sedangkan tidak adanya solvency test membuat kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan utangnya tidak dapat dipastikan.
Ignesjz meminta semua pihak arif dan bijaksana untuk melakukan upaya hukum pailit dan PKPU, serta memikirkan secara utuh dampak untung-ruginya bagi perekonomian nasional.
(dna/dna)