Kini, mereka kian terancam, tanpa adanya gerakan masif dari para pelanggan, mungkin satu per satu bakal tumbang.
"Pesannya adalah ini resto berat semua dan resto itu labor intensive (padat karya), artinya satu resto kecil aja mungkin pelayannya bisa 30 orang. Jadi begitu penjualan nggak ada kan otomatis kan para pelayan di-lay-off-kan, nah empatinya di situ. Jadi dia bilang bahwa ini resto pada berat maka untuk bisa survive ya mohon customer beli, kan kira-kira gitu," paparnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal serupa disampaikan oleh pakar marketing Hermawan Kartajaya. Namun, sedikit berbeda dari Yuswohady, menurut Hermawan, bukan empati yang sedang ditonjolkan oleh Burger King melainkan ada hal lain.
"Itu smart advertising jadi dia bilang seolah-olah dia laris, tapi kompetitornya itu lagi setengah mati jadi tolonglah beli dari kompetitor," kata Hermawan.
Apalagi di paragraf terakhir unggahan Burger King tersebut ada kata-kata yang menyebut produknya adalah produk terbaik. Kesannya di sini, kata Hermawan, Burger King tetap sedikit menonjolkan produknya, namun kemudian menutup kalimat itu dengan menganjurkan pelanggan membeli juga produk dari kompetitor.
"Seolah-olah ada unsur membantu pekerja (resto makanan cepat saji) tapi ya itu agak sombong," sambungnya.
(ara/ara)