Jakarta -
Belum lama ini ekonom senior, Rizal Ramli kembali menyinggung kondisi utang pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Ma'ruf Amin. Hal itu disampaikan Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman lewat akun Twitter @RamliRizal.
Dalam cuitannya, Raja Kepret ini menyebut Indonesia sebagai 'pengemis utang bilateral'. Hal itu pun langsung ditanggapi oleh Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan, Rahayu Puspasari lewat akun Twitternya @rahayupuspa7.
Dalam cuitannya, Puspa membantah jika Indonesia dianggap sebagai pengemis utang. Menurut dia, pinjaman atau utang merupakan instrumen pelengkap bagi pemerintah yang didasarkan atas kebijakan kerja sama strategis yang komprehensif dan sifatnya mutual dengan negara lain sebagai development partner.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah tidak mengemis ke negara lain untuk mendapatkan pinjaman, karena kondisi Indonesia sebagai negara tujuan investor masih sangat baik dan terpercaya (investment grade)," seperti yang dikutip detikcom dari akun Twitter @rahayupuspa7, Senin (23/11/2020).
Pada kesempatan ini, Puspa juga menjelaskan bahwa imbal hasil atau yield dari surat berharga negara (SBN) 10 tahun terus menurun. Hal itu berbanding terbalik dengan yang disampaikan Rizal Ramli lewat akun Twitternya.
Berdasarkan data Bloomberg, Puspa menyebut yield SBN 10 tahun khusus rupiah mengalami penurunan sebesar minus 13,5%. Sementara yield SBN valas juga mengalami penurunan dengan persentase yang jauh lebih besar dibandingkan yield SBN Rupiah sebesar -34,6% (year to date ).
"Ini menunjukkan bahwa bunga dari surat utang yang dikeluarkan pemerintah tidak semakin mahal, sebaliknya malah semakin menurun," cuit dia.
Penjelasan lengkap Kemenkeu di halaman berikutnya.
Berikut penjelasan lengkap Kementerian Keuangan soal anggapan Indonesia pengemis utang:
• Pak RR perlu update informasi. Data Bloomberg menyebutkan bahwa yield Surat Berharga Negara (SBN) Rupiah 10 tahun (year-to-date) mengalami penurunan sebesar -13,5%. Sementara yield SBN Valas juga mengalami penurunan dengan persentase yang jauh lebih besar dibandingkan yield SBN Rupiah sebesar -34,6% (year to date). Ini menunjukkan bahwa bunga dari surat utang yang dikeluarkan pemerintah tidak semakin mahal, sebaliknya malah semakin menurun.
• Kebijakan pemerintah menambah utang saat ini bukan untuk membayar bunga utang, tapi untuk kebutuhan penanganan pandemi dan dampaknya yang sangat mendesak. Selain itu, upaya pemulihan ekonomi nasional juga perlu dilakukan untuk menjaga dampak COVID-19 tidak semakin buruk bagi masyarakat. Ini kondisi extraordinary.
• Upaya pemerintah (Baca: stimulus fiscal) secara signifikan mendorong kebutuhan belanja negara semakin tinggi sementara penerimaan negara tertekan karena pelaku/dunia usaha yang tertekan/terpuruk akibat pembatasan social dan aktivitas masyarakat. Kebijakan counter cyclical pemerintah dilakukan sebagai upaya jumpstart untuk pemulihan ekonomi nasional, seperti bantuan sosial, dukungan bagi pelaku UMKM, insentif pajak bagi dunia usaha, dll.
• Belanja negara yang tinggi untuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi sementara dunia usaha waktunya diberi insentif, bukan dipajaki agar bisa bangkit. maka penerimaan pajak menurun, maka pelebaran defisit. Hal ini sudah diantisipasi sebagai langkah extraordinary untuk situasi extraordinary.
• Meski melebarkan defisit, pemerintah senantiasa meningkatkan efisiensi bunga utang dalam pengelolaan utang dengan tetap memperhatikan faktor risiko dari setiap instrumen dan komposisi portofolio utang yang menjadi pilihan pemerintah agar pengelolaan utang tetap aman dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesinambungan fiskal dalam jangka panjang secara keseluruhan.
• Pinjaman merupakan pelengkap bagi Pemerintah dan didasarkan atas kebijakan kerja sama strategis yang komprehensif dan sifatnya mutual dengan negara lain sebagai development partner. Pemerintah tidak mengemis ke negara lain untuk mendapatkan pinjaman, karena kondisi Indonesia sebagai negara tujuan investor masih sangat baik dan terpercaya (investment grade).
• Kondisi pasar keuangan juga masih kondusif sehingga likuiditas pasar masih cukup besar. Jadi pinjaman luar negeri itu sifatnya melengkapi dalam memperkuat kerjasama antar negara dalam menghadapi pandemi yang terjadi secara global.
• Pemerintah mendapat pinjaman dengan biaya yang relatif murah dan juga transfer teknologi (untuk pinjaman proyek). Pinjaman bilateral antar negara ini lebih mengedepankan kerjasama untuk mewujudkan kestabilan dan kesejahteraan global, bukan pinjaman receh yang asal dipinjam oleh pemerintah.
• Pemerintah menerima pinjaman dari pemerintah Australia 1,5 miliar dolar dan Pemerintah Jerman senilai 550 juta euro bukan untuk membayar bunga utang tapi untuk mendukung Program COVID-19 Active Response and Expenditure Support (CARES), yang dikoordinasikan oleh Asian Development Bank (ADB). Kerangka CARES terdiri atas langkah-langkah penyediaan sarana dan prasarana medis, peningkatan ekonomi, dan bantuan terarah untuk kelompok rentan. Sementara itu pinjaman dari Australia juga dalam kerangka CARES ditujukan untuk mendukung pembiayaan anggaran tahun 2020, yang fokus pada pengendalian COVID-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional.
• Kerja sama yang erat antar negara ini diwujudkan untuk menghadapi pandemi COVID-19 secara bersama, sehingga kita bisa pulih secara bersama-sama pula.