Tarif Pungutan Ekspor Sawit Naik Saat Pandemi, Kenapa?

Tarif Pungutan Ekspor Sawit Naik Saat Pandemi, Kenapa?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 09 Des 2020 08:41 WIB
Geliat industri sawit tak lepas dari kontroversi terkait isu lingkungan hingga isu kemanusiaan. Seperti apa kehidupan para buruh perkebunan sawit?
Foto: AP Photo/Binsar Bakkara

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Agam Faturrochman yang juga hadir dalam sosialisasi PMK 191/2020 itu meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kenaikan tarif levy tersebut.

Menurut Agam, para pelaku di industri sawit berharap kenaikan harga CPO yang terjadi saat ini bisa digunakan sebagai kompensasi ketika harga anjlok hingga menyentuh MYR 2.064/metrik ton pada 21 April lalu menurut bursa berjangka Malaysia. Angka itu terendah sejak Agustus 2019.

"Ketika harga sekarang baik, naik tinggi bagaimana bisa mengkompensasi yang jatuh sekali itu. Tapi sekarang malah dikenakan pungutan yang tinggi sekali. Jadi sepertinya mohon di-review kebijakan ini, didiskusikan dengan stakeholder juga," kata Agam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya itu, Agam juga meminta pemerintah menghapuskan bea keluar (duty) ekspor sawit yang juga dipungut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ia berpendapat, jika bea keluar digunakan untuk hilirisasi industri sawit, maka tujuannya sama saja dengan pungutan ekspor.

"Yang paling utama dapat dilakukan segera adalah bea keluar tidak dipungut atau dihilangkan sama sekali. Karena tujuan bea keluar kan untuk hiliriasi, stabilisasi harga minyak goreng itu kan sudah diambil alih BPDP. Bagaimana itu dijamin bahwa itu dapat dihilangkan, kemudian untuk pungutan ekspor dapat di-review dan didiskusikan dengan perusahaan dan petani," pungkas Agam.


(zlf/zlf)

Hide Ads