Tarif Pungutan Ekspor Sawit Naik Saat Pandemi, Kenapa?

Tarif Pungutan Ekspor Sawit Naik Saat Pandemi, Kenapa?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 09 Des 2020 08:41 WIB
Geliat industri sawit tak lepas dari kontroversi terkait isu lingkungan hingga isu kemanusiaan. Seperti apa kehidupan para buruh perkebunan sawit?
Foto: AP Photo/Binsar Bakkara
Jakarta -

Pemerintah menerbitkan aturan baru tarif pungutan ekspor sawit (levy). Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dalam PMK yang baru diteken pada 3 Desember lalu itu, pungutan ekspor CPO (crude palm oil) bisa naik secara berkala menyesuaikan harga referensi sawit. Ekspor CPO dikenakan tarif pungutan sebesar US$ 55 per ton jika harganya berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton.

Selanjutnya, jika harga CPO berada pada rentang US$ 670-695 per ton, maka tarif ekspornya mencapai US$ 60 per ton. Lalu, apabila harganya naik lagi sebesar US$ 25 per ton, maka tarif ekspor juga naik sebesar US% 15 per ton. Hingga pada angka maksimalnya, tarif pungutan ekspor bisa tembus sebesar US$ 255 per ton jika harga CPO tembus di atas US$ 995 per ton.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya CPO, kenaikan tarif itu juga berlaku bagi produk turunan lainnya seperti crude palm olein, crude palm stearin, palm fatty acid distillate (PFAD), refined bleached and deodorized palm oil (RBDPO), dan seterusnya.

Sedangkan, dalam aturan sebelumnya yak i PMK 157/2020, tarif pungutan ekspor sawit sejak 29 Mei 2020 hingga 3 Desember lalu ialah 0-55%, tergantung pada jenis produk, mulai dari tandan buah segar (TBS), CPO, sampai produk turunannya.

ADVERTISEMENT

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Musdhalifah Machmud menjelaskan, alasan pemerintah mengubah tarif pungutan ekspor itu ialah untuk memperbaiki produktivitas industri sawit melalui berbagai program.

Pungutan ekspor yang lebih besar dari sebelumnya jika menyesuaikan harga CPO yang sedang tinggi itu akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk melaksanakan program-program perbaikan produktivitas itu.

"Dasar pertimbangan penyesuaian tarif itu adalah adanya tren positif harga CPO (crude palm oil), dan keberlanjutan pengembangan layanan dukungan pada program pengembangan industri sawit nasional," ungkap Musdhalifah dalam sosialisasi PMK 191/2020 yang digelar virtual, Selasa (8/12/2020).

Ia mengatakan, industri kelapa sawit sendiri tak terpengaruh pandemi Corona, justru mendongkrak kinerjanya dengan permintaan yang tetap terjaga. Bahkan, ia menyampaikan, nilai ekspor produk sawit sampai September 2020 mencapai US$ 15.486 miliar. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di 2019 yang hanya sebesar US$ 14.458 miliar. Kondisi itu juga beriringan dengan harga CPO yang terus naik, dan terakhir mencapai US$ 870,77 per metrik ton di Desember ini.

"Stabilnya harga sawit di tengah anomali harga komoditas lainnya, antara lain disebabkan terjaganya permintaan minyak sawit domestik di mana kita selenggarakan melalui program mandatory B30," urainya.

Melalui tarif baru pungutan ekspor sawit itu, pemerintah akan menggencarkan beberapa program melalui BPDPKS. Programnya antara lain peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan program pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan kelapa sawit dari hulu ke hilir untuk menciptakan inovasi-inovasi kreativitas, dan menjaga keberlangsungan industri kelapa sawit.

"Lalu juga peremajaan sawit rakyat, sarana dan prasarana, promosi, insentif biodiesel dengan tetap menjaga akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dan penyaluran dana BPDPKS," imbuh Musdhalifah.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Agam Faturrochman yang juga hadir dalam sosialisasi PMK 191/2020 itu meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kenaikan tarif levy tersebut.

Menurut Agam, para pelaku di industri sawit berharap kenaikan harga CPO yang terjadi saat ini bisa digunakan sebagai kompensasi ketika harga anjlok hingga menyentuh MYR 2.064/metrik ton pada 21 April lalu menurut bursa berjangka Malaysia. Angka itu terendah sejak Agustus 2019.

"Ketika harga sekarang baik, naik tinggi bagaimana bisa mengkompensasi yang jatuh sekali itu. Tapi sekarang malah dikenakan pungutan yang tinggi sekali. Jadi sepertinya mohon di-review kebijakan ini, didiskusikan dengan stakeholder juga," kata Agam.

Tak hanya itu, Agam juga meminta pemerintah menghapuskan bea keluar (duty) ekspor sawit yang juga dipungut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ia berpendapat, jika bea keluar digunakan untuk hilirisasi industri sawit, maka tujuannya sama saja dengan pungutan ekspor.

"Yang paling utama dapat dilakukan segera adalah bea keluar tidak dipungut atau dihilangkan sama sekali. Karena tujuan bea keluar kan untuk hiliriasi, stabilisasi harga minyak goreng itu kan sudah diambil alih BPDP. Bagaimana itu dijamin bahwa itu dapat dihilangkan, kemudian untuk pungutan ekspor dapat di-review dan didiskusikan dengan perusahaan dan petani," pungkas Agam.


Hide Ads