Berdasarkan survei transparansi internasional yakni Global Corruption Barometer, sebanyak 30% masyarakat Indonesia yang menggunakan pelayanan publik harus membayar uang sogokan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, fenomena itu banyak terjadi baik di pemerintah pusat maupun daerah.
"Survei transparansi internasional yang mengukur Global Corruption Barometer di Indonesia, menggambarkan ini survei terbaru 2019 sampai Maret 2020, Indonesia ditunjukkan 30% para pengguna layanan publik masih harus bayar sogokan. Walau angka ini masih lebih baik dari India 39%, atau Kamboja 37%, kita tidak boleh sama sekali merasa senang," ungkap Sri Mulyani dalam webinar Hari Korupsi Anti Sedunia (Hakordia) 2020, Kamis (10/12/2020).
Ia mengaku, dirinya banyak menerima keluhan masyarakat di media sosial terkait pelayanan publik, terutama di level Pemda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini tidak hanya di pusat, sering di daerah. Dalam feedback di media sosial, banyak yang tidak bisa bedakan ini pelayanan daerah atau pusat. Buat mereka pemerintah itu satu. Dan kita lihat dinas daerah dapatkan feedback masih tidak baik pelayanan kepada masyarakat. Ini tertangkap dalam survei transparansi internasional," ujar Sri Mulyani.
Melihat kondisi ini, Sri Mulyani Indrawati mempertanyakan kinerja pegawai pemerintahan yang selalu memperoleh kenaikan tunjangan kinerja.
"Apalagi di Kementerian Keuangan, kita tahu persis pemerintah daerah, kementerian/lembaga semuanya sudah meningkatkan tunjangan kinerja. Kita juga tahu persis bahwa selama beberapa tahun terakhir digiatkan wilayah birokrasi bersih dan melayani, bebas korupsi. Namun, kalau 30% masyarakat kita mengakui masih harus bayar sogokan untuk pelayanan, itu adalah suatu indikator yang perlu dilihat lagi. Strategi kita untuk perbaiki birokrasi," tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Berlanjut ke halaman berikutnya.