Jakarta -
Jelang akhir tahun 2020, juga Hari Natal dan tahun baru (Nataru), ada dua komoditas yang harganya naik drastis. Kedua komoditas itu adalah telur ayam dan cabai.
Berdasarkan pantauan detikcom di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, harga telur ayam tembus Rp 30.000 per kilogram (kg). Harga telur ayam rata-rata nasional juga merangkak naik, dan kenaikan tertinggi di Provinsi Papua, yang tembus Rp 42.100/kg pada Jumat (18/12).
Salah satu penjual telur ayam di Pasar Jatinegara yang bernama Dani mengaku, kenaikan tersebut sudah terjadi dalam sepekan terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harga telur ayam Rp 30.000/kg, sudah semingguan ini naiknya," kata Dani ketika ditemui detikcom di Pasar Jatinegara, Sabtu (19/12/2020).
Ia mengatakan, harga telur ayam memang perlahan naik dari Rp 26.000/kg ke Rp 28.000/kg, lalu kini Rp 30.000/kg.
Sementara itu, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 tahun 2020, harga acuan telur ayam di tingkat konsumen sebesar Rp 24.000/kg.
Kemudian, harga cabai merah keriting dan cabai merah besar juga naik, hingga tembus Rp 70.000/Kg
"Yang naik ini cabai merah keriting, sampai Rp 70.000/kg. Cabai besar juga sama," kata Amir, seorang pedagang sayur di Pasar Jatinegara.
Harga cabai-cabaian lainnya pun ikut naik, seperti cabai rawit merah Rp 55.000/kg, kemudian cabai rawit hijau Rp 45.000/kg.
"Padahal standarnya itu kan di kisaran Rp 25.000-40.000 lah untuk cabai-cabaian," tutur dia.
Sementara itu, seorang pedagang sayur bernama Ajum mengaku heran dengan kenaikan harga cabai yang sangat drastis ini. Pasalnya, Hari Natal masih enam hari lagi, tapi kenaikan harga cabai sudah sangat tinggi.
"Sudah semingguan cabai naik. Susah carinya. Saya ambil dari Kramat Jati. Memang cabai-cabaian sih biasa naik kalau mau hari besar. Tapi ini kan masih 5 hari lagi, naiknya sudah tinggi. Dan memang cari stoknya juga susah sih," jelas Ajum.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Syailendra mengungkapkan, kenaikan ini terjadi karena ada penurunan pasokan telur ayam karena jumlah ayam petelur (layer) juga berkurang.
"Imbas dari harga broiler (ayam pedaging/potong) yang sempat tinggi pada periode sebelumnya yang mengakibatkan sebagian ayam layer beralih ikut memasok pasar broiler, atau diafkir/kapasitas ayam ras petelur berkurang, sehingga berdampak pada berkurangnya pasokan telur ayam ras saat ini," kata Syailendra kepada detikcom.
Selain itu, ia mengatakan kenaikan harga telur juga disebabkan oleh harga pakan ternak impor yang naik.
"Kenaikan harga pakan akibat bahan baku asal impor yang mengalami kenaikan turut juga memperparah kondisi harga telur ayam ras saat ini," jelas dia.
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal PKH Kementan Nasrullah, baik dari sisi stok telur sebenarnya cukup. Selain itu, menurutnya aktivitas afkir pada ayam petelur dilakukan pada ayam yang sudah tidak produksi telur lagi. Maksudnya, ayam petelur yang diafkir dan dijual menjadi ayam potong tidak mengurangi stok telur, karena sebelumnya ayam itu juga sudah tak lagi produksi telur.
"Kalau afkir yang dijual itu ayam yang sudah tidak bertelur lagi. Jadi tidak ada hubungannya dengan produksi telur karena sudah diafkir," kata Nasrullah.
Melengkapi Nasrullah, Kepala Bidang Harga Pangan Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Inti Pertiwi mengatakan, kenaikan disebabkan oleh tingginya permintaan di tengah pandemi, dengan angka konsumsi telur naik 0,09 kilo per kapita per tahun.
Inti menuturkan, pandemi ini membuat masyarakat beralih mengkonsumsi telur ayam ketimbang daging. Hal itulah yang menyebabkan permintaan tinggi, dan harga telur ayam pun naik.
"Penurunan produksi produk peternakan selama pandemi itu sampai 40%, tapi tidak untuk telur. Telur nggak ikutan turun, karena orang beralih dari daging, ke telur. Karena banyak keunggulan telur, lalu lebih murah, dan mudah menjangkaunya," papar dia.
Inti memproyeksi, harga telur ayam masih terus naik hingga Januari 2021.
"Memang harga itu sekarang di Jabodetabek saja sudah mencapai Rp 30.000/kg di pasar. Berarti di eceran atau warung-warung lebih tinggi lagi. Memang harga telur naik, dan menurut proyeksi kami akan naik terus sampai Januari akhir, baru akan turun sedikit-sedikit," ujar Inti.
Menurutnya, Kementan tak bisa mengintervensi harga telur ayam dari sisi produsen atau peternak. Di sisi lain, konsumen sedang mengalami tekanan ekonomi dari pandemi Corona. Oleh sebab itu, untuk mengendalikan harga telur diperlukan kebijakan yang berada di tengah konsumen dan produsen, yakni distribusi.
"Kita bantu produsen mendistribusikan telurnya ke pasar. Atau kalau misalnya harga tidak bisa direm dengan cara yang sudah kita mulai lakukan sekarang, ya harus operasi pasar mau tidak mau. Operasi pasar ini tidak mengganggu produsen. Pemerintah atau pelaku yang ditunjuk pemerintah membeli ke produsen dengan harga jual dari produsen itu, sehingga menguntungkan bagi produsen atau peternak. Tapi, biaya transportasinya yang kita subsidi. Jadi biaya transportasi atau distribusi tidak membebani harga jual," papar Inti.
Kembali ke Syailendra, ia menjelaskan, untuk mencegah harga telur ayam terus naik, ia akan berkomunikasi dengan peternak untuk menjaga ketersediaan pasokan demi memenuhi permintaan yang tinggi.
"Terkait kondisi dimaksud, kami terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait serta dengan perusahaan perunggasan, dan asosiasi peternak untuk menjaga ketersediaan pasokan baik daging ayam maupun telur ayam ras di masyarakat, dengan tetap menjaga keterjangkauan harga bagi masyarakat terutama di tengah pandemi COVID-19, baik disalurkan melalui bansos pusat maupun daerah, pasar rakyat/ritel," tutup Syailendra.