Berani Palsukan Laporan Keuangan? Ini Ancamannya

Berani Palsukan Laporan Keuangan? Ini Ancamannya

Tim detikcom - detikFinance
Selasa, 05 Jan 2021 11:44 WIB
Ilustrasi suap, ganti rugi
Foto: Ilustrasi oleh Andhika Akbarayansyah
Jakarta -

Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga, Profesor Budi Kagramanto mewanti-wanti pelaku usaha, terutama emiten di Bursa Efek Indonesia agar meyampaikan laporan kinerja tahunan secara benar jika tidak ingin berurusan dengan hukum. Pasalnya, praktik mempercantik laporan keuangan di penghujung tahun atau biasa disebut window dressing kerap merugikan investor.

Ia mencontohkan kasus laporan keuangan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) tahun 2017 yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Menurut Budi, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen lama AISA, merupakan tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Pertama adalah investor yang berinvestasi di saham AISA. Kedua perusahaan itu sendiri. Ketiga citra industri pasar modal menjadi tercoreng.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau setiap perusahaan melakukan hal seperti itu bisa kacau. Sudah tepat Jaksa Penuntut Umum menggunakan UU (Undang-Undang) Pasar Modal kepada terdakwa, ada ketentuan pidana di situ. Pertanggung jawabannya bisa sampai kekayaan pribadi," kata Budi, Senin (4/1/2021).

Seperti diketahui, manajemen lama AISA, yakni Joko Mogoginta mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dan Budhi Istanto Suwito mantan Direktur AISA, tengah didakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lantaran diduga menggelembungkan (overstatement) piutang anak usaha ke AISA dalam laporan keuangan 2017. Imbasnya, laporan keuangan konsolidasi AISA tampak menarik.

ADVERTISEMENT

Cantiknya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal membeli saham AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp 2.360 per saham pada 2017. Namun kinerja tersebut hanya di atas kertas, sebab fundamental AISA saat itu bertolak belakang dengan laporan keuangan.

Kejanggalan mulai terendus ketika AISA gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan Sukuk. Pada waktu itu, Direktur Utama Tiga Pilar Sejahtera Food Joko Mogoginta dalam keterbukaan Informasi ke Bursa Efek Indonesia, menyampaikan "Bersama ini kami sampaikan bahwa posisi kas dan setara kas perusahaan per tanggal 26 Juni 2018 belum memadai untuk membayar bunga obligasi dan sukuk yang akan jatuh tempo 19 Juli 2018."

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Padahal, dalam Laporan Keuangan 2017 tercantum adanya dana cash per 31 Desember 2017 sebesar Rp 181,6 miliar. Namun, hanya selang beberapa bulan, dalam keterbukaan informasi perusahaan, per 26 Juni 2018, posisi kas perusahaan hanya sebesar Rp 48 miliar. Harga saham AISA pun lantas sempat amblas hingga ke kisaran level Rp 168. Bursa Efek Indonesia pun menghentikan perdagangan saham AISA.

Tidak cukup sampai di situ, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas menyelidiki dan hasilnya diketahui, ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA. Ada aliran dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi alias yang dimiliki pribadi oleh direksi AISA pada waktu itu.

Saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan, para pemegang saham pun meradang. Laporan Tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban Direksi ditolak. Joko Mogoginta dan Budhi Istanto lantas diberhentikan oleh para pemegang saham. Tidak berhenti sampai di situ, pemegang saham yang merupakan investor retail menuntut keadilan pada hukum atas tindakan dua kakak beradik ini sampai perkara berujung ke pengadilan.

"Memberikan utang kepada perusahaan yang dimiliki sendiri itu bentuk penyalahgunaan dan itu pelanggaran berat. Bisa juga disebut penggelapan untuk kepentingan perusahaan lain dan masuk ke pidana. Jadi selain UU Pasar Modal, bisa juga UU Perseroan Terbatas (PT)," terang Budi Kagramanto.

Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal, Profesor Adler Haymans Manurung. Menurutnya, rekayasa laporan keuangan dalam akuntansi disebut Smoothing the Income. Bila ada emiten yang merekayasa, kata dia, kemungkinan besar emiten tersebut merasa bisa melakukannya dan merasa dapat lolos dari pengawasan.

Oleh karena itu, kata Adler, agar kejadian serupa tidak terulang, OJK perlu membuat divisi khusus yang mengawasi hal-hal seperti ini.

"Melihat kecurangan emiten, merupakan salah satu bagian dari perlindungan investor," katanya.

Dalam kasus AISA yang dilakukan oleh mantan direksi, lanjut Adler, merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU Pasar modal. Namun hukuman berupa penjara dan denda Rp 15 miliar dalam UU Pasar Modal menurutnya masih dirasa kurang.

"Pelakunya juga harus di blacklist, tidak bisa jadi direksi perusahaan terbuka termasuk anak perusahaannya," tegas Adler.

Pelaku pasar berharap OJK sebagai ujung pertahanan ketidakberesan yang dilakukan emiten, dapat melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang merugikan investor dan merusak citra pasar modal. "Jadi tidak hanya menunggu laporan dari investor yang dirugikan, harus bisa jemput bola," pungkas Adler.

Saat ini, sidang mengenai kasus AISA masih terus berlangsung. Sejatinya sidang pemanggilan saksi-saksi mantan direksi AISA dilakukan pada Rabu (16/12/2020) namun sidang ditunda dan rencananya dilakukan pada Rabu, 6 Januari 2021.


Hide Ads