Padahal, dalam Laporan Keuangan 2017 tercantum adanya dana cash per 31 Desember 2017 sebesar Rp 181,6 miliar. Namun, hanya selang beberapa bulan, dalam keterbukaan informasi perusahaan, per 26 Juni 2018, posisi kas perusahaan hanya sebesar Rp 48 miliar. Harga saham AISA pun lantas sempat amblas hingga ke kisaran level Rp 168. Bursa Efek Indonesia pun menghentikan perdagangan saham AISA.
Tidak cukup sampai di situ, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas menyelidiki dan hasilnya diketahui, ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA. Ada aliran dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi alias yang dimiliki pribadi oleh direksi AISA pada waktu itu.
Saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan, para pemegang saham pun meradang. Laporan Tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban Direksi ditolak. Joko Mogoginta dan Budhi Istanto lantas diberhentikan oleh para pemegang saham. Tidak berhenti sampai di situ, pemegang saham yang merupakan investor retail menuntut keadilan pada hukum atas tindakan dua kakak beradik ini sampai perkara berujung ke pengadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memberikan utang kepada perusahaan yang dimiliki sendiri itu bentuk penyalahgunaan dan itu pelanggaran berat. Bisa juga disebut penggelapan untuk kepentingan perusahaan lain dan masuk ke pidana. Jadi selain UU Pasar Modal, bisa juga UU Perseroan Terbatas (PT)," terang Budi Kagramanto.
Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal, Profesor Adler Haymans Manurung. Menurutnya, rekayasa laporan keuangan dalam akuntansi disebut Smoothing the Income. Bila ada emiten yang merekayasa, kata dia, kemungkinan besar emiten tersebut merasa bisa melakukannya dan merasa dapat lolos dari pengawasan.
Oleh karena itu, kata Adler, agar kejadian serupa tidak terulang, OJK perlu membuat divisi khusus yang mengawasi hal-hal seperti ini.
"Melihat kecurangan emiten, merupakan salah satu bagian dari perlindungan investor," katanya.
Dalam kasus AISA yang dilakukan oleh mantan direksi, lanjut Adler, merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU Pasar modal. Namun hukuman berupa penjara dan denda Rp 15 miliar dalam UU Pasar Modal menurutnya masih dirasa kurang.
"Pelakunya juga harus di blacklist, tidak bisa jadi direksi perusahaan terbuka termasuk anak perusahaannya," tegas Adler.
Pelaku pasar berharap OJK sebagai ujung pertahanan ketidakberesan yang dilakukan emiten, dapat melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang merugikan investor dan merusak citra pasar modal. "Jadi tidak hanya menunggu laporan dari investor yang dirugikan, harus bisa jemput bola," pungkas Adler.
Saat ini, sidang mengenai kasus AISA masih terus berlangsung. Sejatinya sidang pemanggilan saksi-saksi mantan direksi AISA dilakukan pada Rabu (16/12/2020) namun sidang ditunda dan rencananya dilakukan pada Rabu, 6 Januari 2021.
(dna/dna)