Perkara soal dugaan penggelembungan atau manipulasi laporan keuangan produsen makanan ringan Taro, PT Tiga Pilar Sejahtera Food memasuki babak baru. Joko Mogoginta mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) diduga dengan sengaja menggelembungkan nilai piutang enam perusahaan yang bekerjasama dengan AISA.
Hal itu terungkap dalam persidangan atas manajemen lama PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (6/1/2021).
"Iya, direksi menyampaikan itu (perintah untuk menaikkan nilai piutang)," ujar saksi Sjambiri Lioe, mantan Koordinator Finance PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Leonard S. Simalango di dalam persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak tanggung-tanggung, total nilai piutang yang digelembungkan sekitar Rp 3 triliun.
Menurut Sjambiri, dinaikkannya nilai piutang tersebut berkaitan dengan penjualan AISA. Jika piutang atau nilai tagihan dari perusahaan rekanan naik, maka nilai penjualan seolah-olah juga mengalami kenaikan.
"Dengan adanya laporan yang lebih bagus itu maka bank akan tertarik untuk memberikan pinjaman. Begitu pun ke saham (AISA), harganya jadi bagus," kata Sjambiri.
Ketua Majelis Hakim Akhmad Sayuti lantas menanyakan kepada Sambiri siapa pihak yang dirugikan dengan adanya mark up laporan tersebut.
"Investor. Investor membeli saham padahal kondisi riil perusahaan tidak sebaik yang dilaporkan. Mereka melihat mendapatkan keuntungan, tapi ternyata tidak sebagus seperti yang tercantum," jawab Sjambiri.
Dalam persidangan sebelumnya, Direktur Pemeriksaan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Edi Broto Suwarno yang dihadirkan menjadi saksi mengatakan, terdapat indikasi pelanggaran dalam laporan keuangan yang disajikan AISA tahun buku 2017.
Indikasi pelanggaran itu ditemukan setelah OJK melakukan analisa pada laporan keuangan AISA. Salah satunya yaitu mengenai pencantuman enam (6) perusahaan yang terafiliasi dengan AISA namun dicatat sebagai pihak ketiga.
"Kami menelusuri, cari data, dan undang para pihak untuk menjelaskan. Kami juga mengecek ke Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan ternyata hasilnya ada kesamaan kepemilikan, perusahan-perusahaan itu dimiliki oleh pak Joko dan pak Budhi," katanya.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pasar Modal tahun 1995, lanjut Edi, dinyatakan bahwa setiap pihak yang sengaja menghilangkan, memalsukan atau menyembunyikan informasi sehinggga berpotensi merugikan perusahaan itu sama saja melanggar pidana.
Dalam persidangan, Joko dan Budhi membantah seluruh pernyataan Sjambiri.
"Untuk laporan keuangan, saudara saksilah yang seharusnya bertanggung jawab, karena ia CFO (Chief Financial Officer)," kata Budhi.
Pernyataan Budhi itu lantas dibantah Sjambiri. Menurutnya ia tidak berada dalam tingkat direksi. Pasalnya status direksi hanya bisa diemban jika sudah diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
"Saya bukan CFO. Dan saya tidak memiliki kewenangan menandatangani terkait akuntansi, perpajakan, dan laporan keuangan mana pun," ujarnya.
Untuk memperjelas perkara, majelis hakim meminta JPU untuk kembali menghadirkan saksi-saksi.
"Mohon saksi-saksi lain dipanggil biar clear pak Jaksa, sudah lama kasus ini berjalan," kata Ketua Majelis Hakim Akhmad Sayuti.
(dna/dna)