Kalau Produksi Kedelai RI Digenjot, Importir Mau Beli?

Kalau Produksi Kedelai RI Digenjot, Importir Mau Beli?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 12 Jan 2021 13:19 WIB
Perajin pembuat tempe mengolah kacang kedelai dalam proses pembuatan tempe di pabrik rumahan, Sunter Jaya, Jakarta Utara, Selasa (31/7). Menurut perajin tempe, menjelang Asian Games mereka mengeluhkan peraturan pemprov DKI Jakarta yang mengharuskan mereka harus berhenti produksi saat Asian Games 2018 di Jakarta dimulai, karena perajin tempe diduga
Ilustrasi/Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Impor kedelai masih menjadi agenda rutin Indonesia setiap tahunnya. Lebih dari 90% kebutuhan kedelai dalam negeri masih dipasok oleh impor, terutama dari Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan catatan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, rata-rata kebutuhan kedelai dalam negeri mencapai 2-3 juta ton per tahun. Sayangnya, produksi kedelai dalam negeri hanya sekitar 300.000 ton menurut data Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo).

Pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian 2021 kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya menyelesaikan persoalan impor dari beberapa komoditas pangan, salah satunya kedelai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tetapi yang tadi saya sampaikan barang-barang ini harus diselesaikan. Urusan bawang putih, gula, jagung, kedelai dan komoditas yang lain, yang masih impor tolong ini menjadi catatan dan segera dicarikan desain yang baik agar kita bisa selesaikan," terang Jokowi dalam Rakernas yang disiarkan virtual kemarin, Senin (11/1).

Lalu, jika produksi kedelai dalam negeri digenjot untuk menekan impor, apakah para importir mau menyerap atau membeli kedelai lokal?

ADVERTISEMENT

Menjawab hal itu, Direktur Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Hidayatullah mengatakan, para importir tentunya bersedia menyerap produksi dalam negeri. Perlu diketahui, Akindo sendiri sebenarnya adalah asosiasi pengusaha kedelai, namun sebagian anggotanya adalah importir kedelai.

Menurut Hidayatullah, importir bisa menyerap kedelai di sentra-sentra produksi, kemudian menyalurkannya atau menjualnya ke perajin tahu dan tempe.

"Kalau importir disuruh beli bisa juga, importir yang menyalurkan. Dari sentra produksi dibeli importir, kemudian dia antar, dia bawa ke sentra perajin. Jadi cost membawa dari sentra produksi di pedalaman ke perajin kan perajin misalnya di Jakarta kan banyak, jadi dengan produksinya ada di Jawa Tengah, Jawa Timur. Nah kalau sekadar membawanya ke sini, ya bisa saja importir diwajibkan," kata Hidayatullah kepada detikcom, Selasa (12/1/2021).

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Namun, sejauh ini menurutnya mekanisme jual-beli kedelai tidak diatur oleh pemerintah, atau masih pasar bebas.

"(Importir) jadi pihak distribusi, karena dia sudah dikasih izin impor, barangkali dia juga bisa membantu distribusi kedelai dalam negeri, bisa saja. Tapi ini tidak ada keharusan. Karena kedelai kan barang bebas, tidak ada aturan tata niaga," ungkapnya.

Ia menerangkan, selama ini impor kedelai dilakukan hanya untuk mengisi kekosongan stok karena kapasitas produksi dalam negeri yang masih sangat kecil.

"Ya pastilah karena produksi dalam negeri itu, jadi ada gap yang diisi oleh impor," ujar Hidayatullah.

Untuk saat ini, pihaknya masih fokus dalam melaksanakan tugas operasi pasar di mana Kementerian Pertanian (Kementan) meminta Akindo membuat kesepakatan dengan Gakoptindo untuk menjual kedelai dengan harga yang diturunkan, yakni Rp 8.500/Kg. Sebelumnya, para perajin tahu dan tempe mengaku harus membeli kedelai di importir dengan harga di kisaran Rp 9.500/Kg.

"Kementan mengharapkan semacam pengabdian dari importir untuk bersedia merugi pada 100 hari pertama 2021 ini. Jadi mereka oleh Kementan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) itu diminta untuk melakukan operasi pasar selama 100 hari," tutupnya.


Hide Ads