Yudi menegaskan, pemerintah harus membuat segmentasi daging untuk konsumen di pasar. Dengan demikian, konsumen mengetahui dengan jelas jenis daging yang dibeli, dengan harga yang sesuai.
"Konsumen harusnya boleh memilih. Saya punya uang cukup, saya ingin daging sapi yang segar, bagus, ya bayar mahal. Kalau ingin yang terjangkau beli daging sapi frozen, kalau ingin yang murah sekali beli daging impor beku dari kerbau. Tapi di pasar tidak ada, yang ada semua dicampur oleh pedagang," urainya.
Ia menerangkan, kondisi ini harus diperhatikan karena akan berdampak pada para peternak lokal yang tak bisa mendapatkan insentif jika para pedagang menjual daging sapi dengan dicampur.
"Ini harus dipahami karena kita lihat tingginya impor ini mengambil alih daripada pangsa pemotongan sapi lokal di Indonesia. Yang terkena apa? Ya pasti pemotongan hewan turun, lalu juga peternak akan sulit menjual sapi-sapinya, dan feedloter juga akan menurunkan pasokannya karena memang akan sangat tersaingi oleh daging-daging impor," tegas Yudi.
Kembali ke Rochadi, ia menyampaikan Malaysia yang juga mengimpor daging kerbau India. Namun, penjualannya dilakukan dengan segmentasi, sehingga konsumen punya pilihan.
"Saya menyaksikan sendiri di pasar tradisional di Kuching (Malaysia) itu real menyajikan daging segar, impor, dan daging kerbau India, sehingga konsumen ada pilihan. Tidak seperti di kita. Ini adalah program pemerintah supaya konsumen ada pilihan, segmentasi konsumen. Sehingga tidak memberikan dampak apa-apa," terang dia.
Oleh sebab itu, ia menegaskan pemerintah harus mengedukasi masyarakat dalam berbelanja daging di pasar. "Kalau ini ditata, segmentasi itu, dan kita bisa mengedukasi masyarakat untuk bisa memilih, saya kira ini akan lebih baik," tandas dia.
(vdl/eds)