5 Fakta Penting soal Krisis Raksasa Properti China Evergrande

5 Fakta Penting soal Krisis Raksasa Properti China Evergrande

Siti Fatimah - detikFinance
Selasa, 21 Sep 2021 08:59 WIB
Pekerja menyelesaikan pembangunan hotel di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (1/9/2015). Maraknya pembangunan hotel yang tidak dibarengi dengan okupansi membuat omzet dibidang usaha perhotelan jeblok. Salah satu penyebab pelemahan okupansi hotel di kota-kota besar ialah suplai yang terlampau banyak. Rachman Haryanto/detikcom.
Raksasa Properti Evergrande Alami Krisis, Ini 5 Hal yang Perlu Kamu Tahu
Jakarta -

Permasalahan Evergrande Group, raksasa perusahaan properti asal Tirai Bambu menyita perhatian publik. Mereka terancam bangkrut dan memicu gelombang protes dari para investornya di kantor pusat Shenzhen China pada Selasa lalu (14/9).

Para ahli telah menyebutkan langkah perusahaan untuk bertahan jadi ujian besar buat pemerintah China. Mereka menyebut kejadian itu berisiko mengulang kejadian Lehman Brothers pada tahun 2008 lalu.

Perusahaan harus membayar bunga atas beberapa pinjaman bank. Pembayaran bunga dengan total lebih dari US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun (kurs dolar Rp 14.274) akan jatuh tempo pada akhir pekan ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa itu Evergrande?

Evergrande adalah salah satu pengembang real estate terbesar di China. Perusahaan ini adalah bagian dari Global 500, artinya salah satu perusahaan terbesar di dunia berdasarkan omzet.

Terdaftar di Hong Kong dan berbasis di kota Shenzhen, China Selatan, perusahaan ini mempekerjakan sekitar 200.000 orang. Secara tidak langsung membantu mempertahankan lebih dari 3,8 juta pekerja setiap tahun.

ADVERTISEMENT

Perusahaan ini didirikan oleh miliarder China Xu Jiayin, yang juga dikenal sebagai Hui Ka Yan dalam bahasa Kanton. Dia pernah menjadi orang terkaya di negara itu.

Grup ini memiliki lebih dari 1.300 proyek di 280 kota seluruh China. Selain sektor perumahan, grup ini telah berinvestasi dalam kendaraan listrik, olahraga, dan taman hiburan. Mereka bahkan memiliki bisnis makanan dan minuman, menjual air minum kemasan, bahan makanan, produk susu, dan barang-barang lainnya di seluruh China.

Pada 2010, perusahaan membeli tim sepak bola, yang sekarang dikenal sebagai Guangzhou Evergrande. Tim itu telah membangun sekolah sepak bola yang disebut-sebut terbesar di dunia, dengan biaya US$185 juta atau setara dengan Rp 2,6 triliun.

Evergrande juga melayani punya taman hiburan bernama Evergrande Fairyland. Salah satu proyeknya ialah Ocean Flower Island di Hainan, provinsi tropis di China yang biasa disebut sebagai Hawaii China.

Proyek ini mencakup pulau buatan dengan mal, museum, dan taman hiburan. Menurut laporan tahunan terbaru grup, perusahaan mulai melakukan uji coba di awal tahun ini, dengan rencana pembukaan pada akhir 2021.

Bagaimana bisa mengalami masalah?

Dalam beberapa tahun terakhir, utang Evergrande menggelembung untuk menutupi biaya operasionalnya. Grup ini mendapatkan reputasi buruk karena menjadi pengembang China yang paling banyak berutang, dengan total lebih dari US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.282 triliun.

Para investor sendiri sejatinya telah diinformasikan mengenai kondisi keuangan perusahaan, termasuk potensi kegagalan jika Evergrande tak dapat mencari dana segar dengan cepat. Evergrande juga telah menginformasikan ke bursa saham jika sedang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pembeli dari beberapa asetnya.

Menurut para ahli, ambisi agresif perusahaan sendiri yang membuatnya terjerumus. "Perusahaan itu menyimpang jauh dari bisnis intinya, yang merupakan bagian dari bagaimana mereka masuk ke dalam kekacauan ini," kata Mattie Bekink, Direktur Unit Intelijen Ekonomi China.

Tetapi langkah perusahaan juga merupakan mencerminkan risiko mendasar di China. "Kisah Evergrande adalah kisah tentang tantangan yang mendalam (dan) struktural terhadap ekonomi China terkait dengan utang," kata Bekink.

Lihat juga video 'Biar Cuan Investasi Properti Saat Pandemi':

[Gambas:Video 20detik]



Bagaimana upayanya untuk bangkit?

Pada 14 September, Evergrande mengumumkan mereka telah menggaet penasihat keuangan untuk bisa menganalisis situasi dan mencari solusi.

Sejauh ini, manajemen berusaha untuk menekan pengeluaran perusahaan, akan tetapi gagal menemukan pembeli untuk bisnis di sektor kendaraan listrik dan bisnis layanan properti.

Perusahaan juga telah mencoba untuk menjual menara kantornya di Hong Kong, yang dibeli sekitar US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 22,8 triliun pada tahun 2015. Namun belum terjual sesuai target.

Bagaimana reaksi investor?

Masalah Evergrande ini akhirnya pecah, terjadi aksi protes di kantor pusatnya di Shenzhen. Rekaman dari Reuters menunjukkan sejumlah demonstran di lokasi menemui perwakilan perusahaan.

Investor sudah cemas selama berbulan-bulan, mereka telah kehilangan nilai saham lebih dari 80% di tahun ini. Awal bulan ini, Fitch dan Moody's Investors Services sama-sama menurunkan peringkat kredit Evergrande, dengan alasan masalah likuiditas.

"Kami melihat default dari beberapa jenis sebagai kemungkinan," tulis Fitch dalam catatan baru-baru ini.

Situasi ini juga menakut-nakuti investor di China. Indeks Hang Seng (HSI) pada hari Senin turun 3,3%, mengalami penurunan terburuk dalam hampir dua bulan.

"Menurut pendapat kami, bagaimana tekanan kredit Evergrande akan diselesaikan akan mendorong sentimen pasar," tulis analis Goldman Sachs baru-baru ini. Mereka menambahkan bahwa pasar obligasi China bisa terpukul dan hilangnya kepercayaan bisa berdampak pada sektor peroperti.

Apa yang bisa terjadi selanjutnya?

Analis mengharapkan pemerintah China turut campur tangan untuk membatasi dampak jika Evergrande tumbang. Pihak berwenang juga diminta mengawasi dengan seksama.

Pekan lalu, Fu Linghui, juru bicara Biro Statistik Nasional China, mengakui kesulitan menghadapi beberapa perusahaan real estate besar. Dia tak menyebutkan Evergrande secara langsung.

Masalah keuangan Evergrande telah secara luas dijuluki oleh media China sebagai 'lubang hitam besar'. Julukan ini memberikan arti perlu uang dengan jumlah tak terhingga untuk menyelesaikan masalah.

"Kami pada akhirnya berharap bahwa pemerintah akan campur tangan dalam kasus Evergrande, karena tidak akan membiarkan default perusahaan menyebar ke sistem perbankan," kata Bekink.


Hide Ads