Sebagaimana diketahui, perekonomian global saat ini sedang berada pada tahap pemulihan. Sejumlah negara maju mulai melakukan pengetatan kebijakan moneter yang berujung pada normalisasi kebijakan stimulus COVID-19.
Adapun pelaksanaan normalisasi kebijakan ini tidak dapat diseragamkan secara global, mengingat setiap negara memiliki kondisi yang berbeda dalam kemampuan menangani pandemi, serta bervariasi dalam pengelolaan perekonomian dan sektor keuangannya. Diketahui, normalisasi kebijakan global berpotensi menyebabkan terjadinya limpahan lintas batas terutama dari ekonomi negara maju yang akan berdampak pada perekonomian domestik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto turut menyampaikan pandangannya.
Seminar ini juga memuat panel diskusi dengan narasumber dari Asian Development Bank (ADB), Bank Negara Malaysia (BNM), International Monetary Fund (IMF), OJK, BI, Kementerian Keuangan, dan akademisi.
Sesi pertama seminar mengeksplorasi perspektif global, regional dan country spesific terkait normalisasi kebijakan COVID-19 dan faktor yang harus diperhatikan dalam penarikan kebijakan stimulus COVID-19.
Dalam sesi ini, IMF Senior Resident Representative for Indonesia, James P. Walsh mengungkap menurutnya berbagai institusi di Indonesia memiliki kredibilitas yang tinggi, yang telah dibangun dari waktu ke waktu untuk berhasil menerapkan langkah-langkah yang tidak biasa diambil selama COVID guna meletakkan dasar bagi ekonomi yang lebih kuat ke depan.
"Hal terbaik yang harus dilakukan adalah kembali ke target defisit anggaran sebagaimana yang telah direncanakan Kementerian Keuangan untuk melakukan normalisasi kebijakan moneter secara bertahap seperti yang sudah dilakukan oleh Bank Indonesia dan bekerja sama dengan sistem keuangan guna menjaga kecukupan modal dan ketidakstabilan likuiditas seperti yang sudah dilakukan OJK," jelas James.