Ekonomi China Mulai Ketar-ketir Gara-gara Lockdown!

Ekonomi China Mulai Ketar-ketir Gara-gara Lockdown!

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 18 Apr 2022 21:15 WIB
Residents stand on a street waiting for nucleic acid test during lockdown amid the coronavirus disease (COVID-19) pandemic, in Shanghai, China, April 17, 2022. REUTERS/Aly Song
Foto: REUTERS/ALY SONG
Jakarta -

Dampak lockdown yang dilakukan di China sangat besar. Setidaknya ada hampir 400 juta orang di 45 kota yang ada di China yang terdampak kebijakan ketat nol COVID di China.

Bersamaan dengan itu, berdasarkan data Nomura Holdings jutaan orang yang terdampak lockdown itu mewakili 40% dari seluruh PDB di China.

Dilansir dari CNN, Senin (18/4/2022), analis pun mulai membunyikan bel peringatan terhadap hal ini. Mereka mengingatkan agar para investor peka terhadap ancaman kejatuhan ekonomi global dari perintah lockdown yang berkepanjangan ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pasar global mungkin masih meremehkan dampaknya, karena banyak perhatian tetap terfokus pada konflik Rusia-Ukraina dan kenaikan suku bunga Federal Reserve AS," kata Lu Ting, kepala ekonom China.

Kekhawatiran besar juga datang dari kebijakan lockdown tanpa batas waktu di Shanghai. Kota itu berpenduduk 25 juta jiwa dan salah satu pusat manufaktur dan ekspor utama China.

ADVERTISEMENT

Lockdown yang diberlakukan di sana telah menyebabkan kekurangan makanan, ketidakmampuan untuk mengakses perawatan medis, dan bahkan pembunuhan hewan peliharaan.

Perintah lockdown di Shanghai juga membuat pelabuhan terbesar di dunia kekurangan staf. Pelabuhan Shanghai yang selama ini menangani lebih dari 20% lalu lintas barang di China pada tahun 2021, pada dasarnya untuk sementara waktu mengalami perhentian operasi.

Hal itu membuat persediaan makanan yang terkemas di dalam kontainer pengiriman tidak bisa dikirimkan ke lemari pendingin dan akan membusuk.

Kargo yang masuk sekarang tertahan di terminal laut Shanghai selama rata-rata delapan hari sebelum diangkut ke tempat lain. Para penyedia kargo juga telah membatalkan semua penerbangan masuk dan keluar kota. Belum lagi saat ini lebih dari 90% truk yang mendukung pengiriman impor dan ekspor telah berhenti beroperasi.

Shanghai menghasilkan 6% dari ekspor China, menurut buku tahunan statistik pemerintah untuk tahun 2021, dan penutupan pabrik di dalam dan sekitar kota semakin mengguncang rantai pasokan.

Dari sisi industri, Quanta yang merupakan produsen notebook terbesar di dunia yang selama ini menjadi pabrik pembuat MacBook, telah menghentikan produksi sepenuhnya di Shanghai. Padahal, pabrik tersebut menyumbang sekitar 20% dari kapasitas produksi notebook Quanta.

Selain Quanta, Tesla juga telah menutup pabriknya di Shanghai Giga, yang memproduksi sekitar 2.000 mobil listrik per hari.

Pada hari Jumat, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China mengatakan mereka mengirim satuan tugas ke Shanghai untuk mengerjakan rencana melanjutkan produksi di 666 produsen utama di kota yang mengalami lockdown itu.

Eksekutif Tesla berharap mereka akan diizinkan untuk membuka kembali pintu mereka pada hari Senin, mengakhiri jeda terpanjang pabrik sejak pembukaannya tahun 2019. Produsen mobil telah kehilangan lebih dari 50.000 unit produksi sejauh ini, menurut bahan yang ditinjau oleh Reuters.

"Dampaknya terhadap China sangat besar dan dampak pada ekonomi global cukup signifikan. Saya pikir kita akan menghadapi lebih banyak volatilitas dan gangguan ekonomi dan sosial setidaknya selama enam bulan ke depan," kata Michael Hirson, kepala praktik Grup Eurasia untuk China dan Asia Timur Laut.

Respons pandemi di China baru-baru ini kemungkinan akan menelan biaya setidaknya US$46 miliar dalam output ekonomi yang hilang per bulan, atau 3,1% dari PDB. Hal itu diungkap dalam penelitian Chinese University of Hong Kong.

Analis tidak lagi percaya bahwa target pertumbuhan ekonomi 5,5% China tahun 2022, tujuan negara yang paling tidak ambisius dalam tiga dekade, adalah realistis.

Bank Dunia pun merevisi perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi China minggu ini menjadi 5% tetapi mencatat bahwa jika kebijakan restriktifnya berlanjut, itu bisa turun menjadi 4%.


Hide Ads