Jakarta -
Google diduga melakukan pelanggaran persaingan usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) per hari ini mulai melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaraan persaingan usaha yang dilakukan oleh Google dan anak usahanya di Indonesia.
KPPU menduga Google telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi secara digital di Indonesia.
"Keputusan tersebut dihasilkan pada Rapat Komisi tanggal 14 September 2022 dalam menindaklanjuti hasil penelitian inisiatif yang dilakukan Sekretariat KPPU," ungkap Direktur Ekonomi, Kedeputian bidang Kajian dan Advokasi, Mulyawan Ranamanggala dalam keterangannya, Kamis (15/9/2022).
Proses penyelidikan akan dilakukan KPPU selama 60 hari kerja ke depan guna memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran Undang-Undang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, dugaan pelanggaran persaingan usaha seperti apa yang terjadi pada Google?
Mulyawan mengatakan KPPU selama beberapa bulan terakhir telah melakukan penelitian inisiatif yang berkaitan dengan Google. Penelitian tersebut difokuskan pada kebijakan Google yang mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu.
GPB diketahui adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi alias in-app purchases yang didistribusikan di Google Play Store. Atas penggunaan GPB tersebut, Google mengenakan tarif layanan/fee kepada aplikasi sebesar 15-30% dari pembelian.
Berbagai jenis aplikasi yang dikenakan penggunaan GPB tersebut meliputi aplikasi yang menawarkan langganan seperti pendidikan, kebugaran, musik, atau video. Kemudian, aplikasi yang menawarkan digital items yang dapat digunakan dalam permainan atau games.
Lalu, aplikasi yang menyediakan konten atau kemanfaatan seperti versi aplikasi yang bebas iklan. Selanjutnya, aplikasi yang menawarkan cloud software and services seperti jasa penyimpanan data, aplikasi produktivitas, dan lainnya.
Kebijakan penggunaan GPB tersebut mewajibkan aplikasi yang diunduh dari Google Play Store harus menggunakan GPB sebagai metode transaksinya dan penyedia konten atau pengembang (developer) aplikasi wajib memenuhi ketentuan yang ada dalam GPB tersebut.
Google pun tidak tidak memperbolehkan penggunaan alternatif pembayaran lain di GPB. Kebijakan penggunaan GPB tersebut efektif diterapkan pada 1 Juni 2022.
Lanjut ke halaman berikutnya.
Dari hasil penelitian, Mulyawan mengatakan, KPPU menemukan Google Play Store merupakan platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93%. Terdapat beberapa platform lain yang turut mendistribusikan aplikasi seperti Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery, namun bukan merupakan subsitusi sempurna dari Google Play Store.
"Bagi pengembang atau developer aplikasi, Google Play Store sulit disubstitusi karena mayoritas pengguna akhir atau konsumen di Indonesia mengunduh aplikasinya menggunakan Google Play Store," ujar Mulyawan.
KPPU juga menemukan Google memberlakukan kebijakan untuk mewajibkan penggunaan GBP untuk pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi yang didistribusikan di Google Play Store.
Aplikasi yang terkena kewajiban ini tidak dapat menolak kewajiban, karena Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi tersebut dari Google Play Store atau tidak diperkenankan dilakukan update atas aplikasi tersebut.
"Artinya aplikasi tersebut akan kehilangan konsumennya," ungkap Mulyawan.
Mulyawan mengatakan kewajiban tadi sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15-30 % dari harga konten digital yang dijual. Padahal, sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5%.
"Selain mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan harga, kewajiban ini juga mengakibatkan terganggunya user experience konsumen atau pengguna akhir aplikasi," sebut Mulyawan.
Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat alias tying in untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda. Google mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli layanan secara bundling lewat aplikasi Google Play Store sebagai marketplace dan Google Play Billing sebagai layanan pembayaran.
Lebih lanjut, KPPU juga mendapatkan temuan dalam rangka pembelian di aplikasi, Google hanya bekerja sama dengan salah satu penyedia pembayaran atau payment gateway. Sementara beberapa penyedia lain di Indonesia tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam menegosiasikan metode pembiayaan tersebut.
"Berbeda dengan yang perlakuan ditujukan bagi digital content provider global, dimana Google membuka provider untuk kerja sama dengan payment system alternatif," ungkap Mulyawan.
Berdasarkan analisis KPPU, berbagai perbuatan Google tersebut disebut dapat berdampak pada upaya pengembangan konten lokal yang tengah digalakkan pemerintah Indonesia. Dalam proses penelitian, KPPU telah mendengarkan pendapat dari berbagai pihak dan dapat menyimpulkan kebijakan Google tersebut merupakan bentuk persaingan usaha tidak sehat di pasar distribusi aplikasi secara digital.
"KPPU menduga Google telah melakukan berbagai bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminatif," tegas Mulyawan.
Simak Video "Video: Setelah Hampir Satu Dekade, Google Perbarui Logo Ikonik 'G'"
[Gambas:Video 20detik]