Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Partai Buruh, Said Iqbal menegaskan kembali dua tuntutannya, salah satunya yakni menyangkut tuntutan upah minimum 2023 yang naik 13%.
Lebih lengkapnya, dalam kesempatan kali ini, Said menyebut adanya dua tuntutan, antara lain menuntut kenaikan upah minimum 13% pada 2023, serta yang kedua mendesak pemerintah dan pengusaha tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan dalih ancaman resesi global 2023.
"Partai Buruh dan KSPI meminta pemerintah untuk menetapkan upah 2023 gunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan, di mana dalam peraturan tersebut mengacu pada Omnibus Law Undang-Undang Cipta kerja yang sudah dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat dan cacat formil," kata Said dalam konferensi pers virtual, Senin (17/10/2022).
Oleh sebab itu, menurutnya tidaklah tepat apabila pemerintah masih menggunakan PP tersebut dalam menentukan upah minimum 2023 yang akan diumumkan pada 1 November mendatang. Apalagi, lanjut Said, kalau menggunakan batas atas dan batas bawah PP tersebut, pasti upah tidak akan naik, kalaupun naik hanya 1-2%.
Sedangkan menurut pengamatan Said dari Litbang Partai Buruh, inflasi turunan dari tiga sektor yang dikonsumsi rakyat mengalami kenaikan lebih dari inflasi umum yang berada di 6,5%. Oleh karena itu, angka kenaikan upah yang berpotensi hanya 1-2% tentu tidak sepadan.
"Partai Buruh dan KSPI menolak kenaikan upah minimum menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021 yang naik hanya berkisar 1-2% karena tiga komponen, makanan minuman, transportasi dan biaya sewa rumah atau biaya kos, itu rata-rata berkisar 15%," katanya.
Di sisi lain, merujuk pada angka 13% yang masuk dalam tuntutan, Said pun menjelaskan dasar perhitungannya. Dasarnya adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, di mana rumusan itu tertuang dalam PP 78 Tahun 2015.
Hitung-hitungan buruh berlanjut ke halaman berikutnya.
(ara/ara)