Airlangga Singgung Tak Ada Negara yang Aman dari 'Awan Gelap' 2023

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Jumat, 09 Des 2022 18:15 WIB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto/Foto: Dok. Kementerian Perekonomian
Jakarta -

Perekonomian dunia dihadapkan pada ancaman resesi global tahun depan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, tidak ada negara yang benar-benar dalam kondisi aman.

Perekonomian global masih menghadapi tantangan berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi memasuki kuartal terakhir 2022. Hal itu merupakan bagian dari dampak lanjutan pandemi COVID-19 yang hingga saat ini belum usai sepenuhnya.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang disajikan oleh sejumlah lembaga internasional menunjukkan hal yang sama, di mana untuk tahun 2022 akan berada pada rentang 2,8-3,2% dan terpangkas tajam untuk tahun 2023 dari yang semula diharapkan bertengger pada rentang 2,9-3,3% menjadi hanya 2,2-2,7%.

Tantangan perekonomian global juga bertambah dari global shocks berupa lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi, stagflasi, gejolak geopolitik,climate change, serta krisis yang terjadi pada sektor energi, pangan, dan finansial.

Ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi ini juga telah menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna (the perfect storm) sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada 2023.

"Pandemi COVID-19 menunjukkan kepada kita bahwa global solidarity bukan hanya jargon. Tidak ada yang benar-benar aman, sampai seluruh dunia aman," ungkap Airlangga dikutip dari laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (9/12/2022).

Sinyal pelemahan ekonomi global ini juga tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers' Index(PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada bulan November 2022, setelah pada bulan sebelumnya tercatat pada 49,9. Banyak negara yang secara teknis telah memasuki level kontraksi sejak Juli 2022 lalu. Sejumlah negara di dunia yang terlihat masih mengalami kontraksi PMI pada November seperti di China (49,4), United Kingdom (46,5), Amerika Serikat (47,7), Jepang (49), dan Jerman (46,2).

Sementara itu, pertumbuhan seluruh sektor manufaktur ASEAN pada November 2022 tetap terjaga di level optimis di posisi 50,7. Kinerja manufaktur di sebagian besar negara di kawasan ASEAN masih menunjukkan tingkat ekspansi yakni Singapura (56,0), Filipina (52,7), Thailand (51,1), dan Indonesia (50,3). Selain itu, negara yang telah berada pada level kontraksi yakni Malaysia (47,9), Vietnam (47,4) dan juga Myanmar (44,6).

Lebih lanjut, dipicu oleh supply disruption terutama pada sektor energi dan pangan akibat pandemi dan gejolak geopolitik, telah membuat tingkat inflasi global merangkak naik pada level yang tinggi. Lonjakan inflasi yang kemudian direspons sejumlah negara dengan memberlakukan pengetatan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga, pada akhirnya memberikan tekanan lebih kepada perekonomian global.

Pada bulan Oktober 2022, inflasi tinggi tercatat masih terjadi di sejumlah negara seperti Argentina (88%), Turki (85,5%), Rusia (12,6%), Italia (11,9%), United Kingdom (11,1%), dan Uni Eropa (10,7%).

Dampak lanjutan tingkat inflasi yang tinggi juga akan dirasakan pada stabilitas neraca perdagangan akibat penurunan permintaan ekspor. Selain itu, pasar tenaga kerja global juga akan mengalami pelemahan dengan terjadinya penurunan upah riil serta permintaan kredit yang cenderung akan mengalami penurunan akibat respons pengetatan likuiditas.

Mencermati tingginya ketidakpastian perekonomian global tersebut, perekonomian nasional patut untuk memiliki kewaspadaan tinggi dan bersiap menghadapi stagflasi global. Tekanan capital outflow, depresiasi nilai rupiah, serta penurunan ekspor dan kinerja manufaktur yang berpotensi meningkatkan PHK menjadi dampak risiko eksternal yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk diantisipasi.




(acd/ara)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork