Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N Mandey, menilai bahwa kerugian yang dialami Sevel adalah hal yang wajar. Saat ini bisnis ritel di Indonesia sedang mengalami masa sulit, bukan hanya Sevel saja yang megap-megap.
"Kami melihat ini adalah suatu keniscayaan, siapapun bisa mengalami hal demikian. Terutama ketika suasana under perform, bisnis ritel sekarang sedang tidak perform, semua jenis retail. Baik minimarket, supermarket, hypermarket, department store, maupun kulakan. Jadi tidak hanya terjadi di 7-Eleven, tapi bisnis ritel secara keseluruhan," kata Roy saat ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Kamis (26/4/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di kuartal pertama ini bisnis ritel mengalami penurunan 10-15 persen dibanding year on year tahun 2016. Kenapa? Ada sentimen masyarakat terhadap situasi yang tumbuh dan berkembang saat ini," ungkapnya.
Meski secara makro perekonomian Indonesia masih bagus, ada faktor-faktor di luar ekonomi yang berdampak pada perilaku konsumen, tidak bisa ditangkap oleh perhitungan-perhitungan statistik. Misalnya kegaduhan politik, paket deregulasi yang belum dirasakan masyarakat, dan sebagainya.
Menurut Roy, hal-hal ini ternyata membuat masyarakat mengurangi belanjanya. Inilah yang membuat penjualan di gerai-gerai ritel turun, termasuk di Sevel.
"Secara makro ekonomi kita bagus. Rasio gini turun, kemiskinan turun, ease of doing business makin mudah, inflasi terjaga, apa yang terjadi? Mikronya yang jelek, ada faktor intangible, tidak bisa diukur dengan statistik. Faktor intangible itu yang disebut sentimen. Misalnya sentimen terhadap kegaduhan politik. Itu membuat masyarakat memilih untuk lebih baik menabung, mengalihkan uang yang biasanya dikonsumsi dengan aset seperti emas," paparnya.
"Sentimen negatif juga terjadi karena masyarakat secara umum melihat paket-paket deregulasi belum terlaksana. Masyarakat enggak merasakan," Roy mengimbuhkan.
Para pelaku bisnis ritel telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan penjualan. Mulai dari pemberian diskon, promosi, efisiensi, peluncuran produk-produk baru, hingga menjual kepemilikannya kepada investor lain. Langkah inilah yang diambil Sevel.
"Ketika under perform, semua hal bisa terjadi. Perlu efisiensi, kreativitas, produk baru, segmen baru, dan hal-hal yang berkaitan dengan produktivitas. Kemudian juga aliansi strategis sampai kerja sama dengan peritel lain, investor lain, sampai dengan akuisisi," ucapnya.
Agar ritel lain tak tertimpa nasib buruk seperti Sevel, Roy meminta pemerintah membuat kebijakan yang dapat meringankan beban peritel di tengah lesunya konsumsi masyarakat, misalnya dengan pemberian diskon tarif listrik.
"Tidak bisa hanya peritel saja, pemerintah sebagai regulator juga harus membantu. Misalnya kenapa industri manufaktur bisa diberi diskon tarif listrik, kenapa untuk peritel tidak bisa? Listrik bisa sampai 40 persen biaya. Keberpihakan terhadap pasar modern juga harus ada, bukan hanya pasar tradisional yang harus dimajukan," tutupnya. (mca/dna)