Soal Sengketa Saham BFI Finance yang Berlangsung Belasan Tahun

Soal Sengketa Saham BFI Finance yang Berlangsung Belasan Tahun

Danang Sugianto - detikFinance
Jumat, 08 Jun 2018 18:43 WIB
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - PT BFI Finance Tbk (BFIN) kembali berseteru dengan PT Aryaputra Teguharta (APT). APT melayangkan somasi atas sengketa kepemilikan saham BFI Finance.

Perseteruan antara dua perusahaan tersebut bukan cerita baru. Sumbu permasalahan sudah terpanti belasan tahun yang lalu.

Menurut penjelasan pihak BFI Finance, awalnya APT dan Ongko Multicorpora (OM) yang keduanya di bawah naungan Ongko Group, memang memiliki masing-masing 111.804.732 dan 98.388.180 lembar saham BFI Finance.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun pada akhir tahun 90-an BFI Finance terkendala masalah keuangan dan harus membayar utang kepada krediturnya. Sementara BFI juga memiliki piutang terhadap 29 anak perusahan Ongko Group.


Lantaran keadaan mendesak, pada 1 Juni 1999, APT dan OM menjaminkan kepemilikam aahamnya kepada BFI Finance melalui Perjanjian Gadai Saham. Hal itu juga menjadi langkah awal BFI Finance melakulan restrukturisasi utang kepada krediturnya melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pegawai Niaga Jakarta.

"Proses restrukturisasi utang juga disetujui oleh mereka melalui RUPSLB," kata Kuasa Hukum BFI Finance Anthony P. Hutapea di UOB Plaza, Jakarta, Jumat (8/6/2018).

Kemudian pada 9 Februari 2001 dilakukan pengalihan saham ex APT dan OM kepada The Law Debenture Trust Corporation selaku perwakilan dari para kreditur berdasarkan Share Sale & Purchase Agreement.

Pengalihan saham pun dilakulan melalui Bursa Efek Jakarta pada Mei 2001. Pihak BFI Finance pun menyerahkan surat pembebasan utang kepada Ongko Group.

Kemudian pada 2003, ketika proses restrukturisasi pinjaman BFI selesai, APT dan OM menuntut pengembalian saham yang telah digadaikan. Mereka yakin bahwa perjanjian gadai saham telah habis masa berlakunya.

"Padahal PKPU sudah selesai," kata Anthony.

Proses hukum yang diajukan dua perusahaan itu menghasilkan dua putusan Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung di 2017. Pertama PK No 115 yang menyatakan pengadilan menolak seluruh gugatan OM.

Lalu putusan kedua PK No 240 menyatakan APT adalah pemegang saham. Namun putusan itu tidak membatalkan proses pengalihan saham yang dilakukan pada 2001.

Anthony menegaskan sejak tahun 2009 hingga saat ini, 6 orang Ketua PN Jakarta Pusat yang berbeda telah 6 kali menolak permohonan APT untuk mengeksekusi PK 240/2006 itu. Terakhir putusan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 79/2007 pada 26 Januari 2018 yang menyatakan tidak bisa dilaksanakan.

"Ya memang barangnya sudah tidak ada, apa yang mau dieksekusi. Kita cek ke KSEI juga sahamnya sudah tidak ada," tambahnya.

Ketua PN Jakarta Pusat konsisten menyatakan bahwa penetapan 079/2007 yang menyatakan bahwa putusan PK 240/2006 non-executable alias tidak bisa dieksekusi.


Sebagai contoh pada 3 Juli 2009 ketua PN Jakarta Pusat, Andriani Nurdin, menyatakan, bahwa pada acara pemanggilan menghadap tertanggal 30 Juni 2009 tidak ditemukan hal-hal baru yang diajukan oleh pemohon eksekusi sehubungan dengan permohonannya.

Karena itu tidak ada alasan bagi PN Jakarta Pusat untuk membatalkan Penetapan No 079/2007 eks, tanggal 10 Oktober 2007 tentang non-executable.

Hal yang sama juga menjadi keputusan Ketua PN Jakarta Pusat, Gusrizal, di tahun 2014. Pada tanggal 12 Juni 2014, Hakim Gusrizal menyatakan bahwa tidak ada alasan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan Penetapan No 079/2007 eks, tanggal 10 Oktober 2007 tentang non-executable.

"Secara hukum kami tegaskan lagi bahwa tidak ada lagi saham PT APT di BFI Finance. Hal itu juga sudah disampaikan dalam surat KSEI kepada pengadilan Jakarta Pusat tanggal 11 Desember 2014. Masalahnya sudah selesai bertahun-tahun lalu dan tidak ada hal yang baru," jelas Anthony. (dna/dna)

Hide Ads