Dolar AS Ngamuk Tembus Rp 16.000, Ini Bedanya dengan Krismon 1998

Dolar AS Ngamuk Tembus Rp 16.000, Ini Bedanya dengan Krismon 1998

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Sabtu, 21 Mar 2020 06:00 WIB
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin tajam, Selasa (16/12/2014). Saat ini, dolar AS sudah mendekati level Rp 12.900.
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Dolar Amerika Serikat (AS) telah menembus level Rp 16.000. Bahkan, sejumlah bank telah menjual dolar AS seharga Rp 16.500.

Dolar AS menembus Rp 16.000 ini pun membangkitkan memori krismon alias krisis moneter 1998. Samakah situasi saat dengan krismon 1998?

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, pada tahun 1998 dolar berada di kisaran Rp 2.000. Kemudian, dolar melesat sampai Rp 16.000 atau naik berkali lipat.

Berbeda dengan kondisi saat ini, dolar tembus Rp 16.000 dari semula di kisaran Rp 13.000 hingga Rp 14.000.


"Kalau kita lihat saat ini rupiah 13.000-14.000, saat ini misalkan melemah 16.000, pelemahannya tidak sebesar di krisis 1998," katanya kepada detikcom, Jumat lalu (20/3/2020).

Secara fundamental pun kondisinya jauh berbeda. Josua menjelaskan, saat krisis 1998 surat utang pemerintah belum mendapat predikat layak investasi (invesment grade).

"Kita sekalipun tahun lalu ekonomi melambat tapi R&I; diumumkan oleh BI menaikkan lagi peringkat surat kita," ujarnya.

Kemudian, pada saat krisis pengelolaan utang luar negeri tida begitu baik. Utang jangka pendek swasta porsinya relatif besar dan berbentuk dolar. Sehingga, saat dolar meroket, pengusaha banyak yang kolaps.

"Kalau saat ini utang luar negeri swasta cenderung bahkan melambat dan komposisi utang jangka pendek lebih kecil, pengelolaan utang pun jauh lebih baik," terangnya.

Memang, ekonomi Indonesia cenderung melambat karena virus corona. Namun, Josua menuturkan, hal itu juga dialami oleh negara-negara lain.

Josua mengatakan, pemerintah telah mengambil kebijakan antisipasi sehingga diharapkan ekonomi Indonesia cepat pulih.

"Kita akui perlambatan ekonomi ada karena tidak ada negara yang menguat sendiri di tengah semua melambat akibat Covid-19 karena semua mata rantai global terganggu. Perlambatan ada dan respon pemerintah juga ada, paket stimulus pertama dan kedua totalnya Rp 180 triliun," terangnya.

Lantas, kenapa Dolar Tembus Rp 16.000? Klik halaman selanjutnya



Senada, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim menjelaskan dolar AS memang sama-sama berada di level Rp 16.000-an. Namun ini berbeda dengan kondisi saat krisis 1998.

"Kondisi ini beda, waktu 1998 itu krisis ekonomi, karena fundamentalnya belum kuat. Saat ini, meski mengalami pelemahan tapi fundamental ekonomi kita kuat," katanya.

Dia menyampaikan saat ini pelaku pasar memang sedang menghadapi kepanikan yang luar biasa terkait virus corona di berbagai negara.

"Memang murni karena panik saja ini," jelas dia.


Ibrahim mengungkapkan penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan akibat kepanikan pasar membuat Bank Indonesia (BI) kemarin memutuskan menurunkan suku bunga BI sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%. Keputusan itu diambil dengan melihat kondisi ekonomi global akibat dampak virus corona.

Selain itu BI juga menurunkan suku bunga deposit facility turun 25 bps menjadi 3,75% dan suku bunga lending facility turun 25 bps menjadi 5,25%. Kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten dengan perkiraan inflasi yang terkendali dan langkah preemptive menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

"Apa yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah mengikuti sesuai dengan anjuran Bank Sentral global namun BI belum bisa menjaga stabilitas mata uang rupiah akibat pasar yang panik karena dinamika-dinamika penyebaran virus corona sangat cepat," jelas dia.



Simak Video "Video WHO soal Ilmuwan China Temukan Virus Corona Baru Mirip Penyebab Covid-19"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads